Bandung, Berita Kita – Sekitar 3.000 pekerja sektor perhotelan di Provinsi Jawa Barat terpaksa mengalami pengurangan jam kerja. Kebijakan ini diambil sebagai respons atas tingginya beban operasional yang tidak sebanding dengan tingkat okupansi hotel yang terus menurun dalam beberapa waktu terakhir.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menjelaskan bahwa kondisi ini berdampak pada mayoritas anggota asosiasi, khususnya pengusaha hotel yang kini kesulitan untuk mempertahankan operasional harian mereka.
Penurunan drastis tingkat hunian hotel, yang kini hanya berkisar 35 persen, menjadi salah satu pemicu utama. Menurut Dodi, angka tersebut jauh dari batas minimum okupansi ideal, yakni 50 persen, untuk dapat menutup biaya operasional secara normal. Sebagai langkah antisipatif, para pengusaha lebih memilih mengurangi jam kerja dibanding melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
“Idealnya untuk beroperasi normal itu okupansi 50 persen. Dengan kondisi saat ini yang paling bisa dilakukan (memodifikasi) pada aspek pekerja yang proporsinya 26 persen dari biaya operasional hotel,” ujar Dodi dalam keterangannya di Bandung, Rabu.
Efek dari kebijakan ini terasa hampir merata di seluruh wilayah Jawa Barat, termasuk kota-kota besar seperti Bandung dan Bogor. Dodi mengungkapkan bahwa di Bogor bahkan terdapat dua hotel yang harus menutup operasional secara permanen, menyebabkan puluhan pekerja kehilangan pekerjaan.
“Sekarang bahkan sudah ada hotel yang tutup seperti di Bogor ada dua, dan itu ada puluhan pekerja harus di-PHK. Dan kami cek di daerah lain belum ada lagi yang tutup, hanya pengurangan pekerja saja,” tambahnya.
Langkah pengurangan jam kerja ini telah diberlakukan sejak beberapa bulan terakhir, seiring memburuknya situasi ekonomi global serta kebijakan penghematan anggaran oleh pemerintah daerah yang menyebabkan berkurangnya acara dinas di hotel-hotel.
Kebijakan ini diambil untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan menyelamatkan bisnis perhotelan dari kebangkrutan. Para pelaku usaha, kata Dodi, berusaha keras mempertahankan kelangsungan usaha dengan melakukan inovasi serta efisiensi sumber daya manusia. Sistem kerja bergilir selama tiga hingga empat hari per minggu menjadi solusi sementara untuk menghindari PHK.
“Untuk saat ini, pekerja harian sudah tidak diperpanjang lagi kecuali saat ramai sekali. Kemudian pekerja kontrak juga ada yang sudah habis dan tidak dipekerjakan lagi. Nah sisanya ini yang pekerja tetap, mereka sekarang bergantian harinya,” jelas Dodi.
PHRI Jawa Barat telah mengajukan berbagai usulan kepada pemerintah daerah guna meringankan beban pelaku usaha hotel. Salah satu usulan utama adalah relaksasi atau penundaan pembayaran pajak. Menurut Dodi, langkah ini sangat penting agar pelaku usaha tetap bertahan di tengah menurunnya pendapatan dan tingginya tingkat kredit macet di sektor perbankan.
“Karena sekarang pendapatan kita turun, kredit macet juga tetap tinggi ke bank dan gak bisa dipermudah sama bank. Biar gak tutup ya minimal ada penundaan pembayaran pajaknya,” ungkapnya.
Ketua PHRI Kabupaten Cianjur, Nano Indrapraja, juga menyuarakan permintaan serupa. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak menyerah terhadap kondisi ini dan terus berjuang agar hotel-hotel tetap bisa beroperasi meski dalam keterbatasan.
“Ini sedang tidak baik-baik saja, tapi kami bukannya menyerah, dan memang kita semua berusaha di tengah perekonomian yang turun ini,” ucap Nano.
Sebagai informasi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya telah melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp5,1 triliun. Dana tersebut kemudian dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, sektor pendidikan, kesehatan, penyediaan cadangan pangan, serta program-program prioritas lainnya yang fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. ***
(Redaksi)
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis