Jakarta, BeritaKita — Aktivitas membakar sampah masih menjadi pemandangan umum di sejumlah wilayah Indonesia. Meski terlihat sederhana dan praktis, kebiasaan ini sesungguhnya menyimpan bahaya besar bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pembakaran sampah menghasilkan asap pekat yang mengandung berbagai zat kimia beracun, serta melepaskan partikel mikroplastik yang bisa bertahan lama di udara dan mencemari ekosistem. Minggu, (26/10).
Pembakaran sampah umumnya dilakukan oleh warga sebagai cara cepat membersihkan lingkungan sekitar. Namun, di balik kepulan asap itu tersimpan racun berbahaya seperti dioksin, furan, dan karbon monoksida yang dapat menurunkan kualitas udara. Paparan jangka panjang terhadap zat-zat tersebut berpotensi menimbulkan gangguan pernapasan, memperburuk penyakit paru-paru, hingga meningkatkan risiko kanker. Tak hanya itu, udara yang tercemar juga berdampak buruk bagi anak-anak dan lansia yang memiliki daya tahan tubuh lebih rendah.
Fenomena ini menjadi perhatian serius pemerintah melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lembaga tersebut menilai pembakaran sampah telah menjadi sumber utama polusi udara di kawasan pemukiman dan perkotaan. BRIN menekankan pentingnya penegakan hukum agar masyarakat tidak lagi menganggap enteng perilaku tersebut. Penegakan sanksi dinilai sebagai langkah strategis untuk mendorong perubahan perilaku dan menumbuhkan kesadaran kolektif terhadap pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Sanksi yang diberlakukan tidak hanya berbentuk denda finansial, tetapi juga berupa sanksi sosial yang mendidik. Pemerintah daerah didorong untuk menerapkan hukuman berupa kegiatan sosial seperti membersihkan lingkungan, mengikuti pelatihan pengelolaan sampah, atau terlibat dalam program daur ulang. Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan efek jera sekaligus menumbuhkan tanggung jawab moral terhadap kebersihan lingkungan.
Di DKI Jakarta, larangan membakar sampah sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013. Aturan tersebut menegaskan bahwa setiap pelanggaran dapat dikenai denda hingga Rp50 juta atau kurungan maksimal tiga bulan. Sayangnya, penerapan kebijakan ini di lapangan masih menghadapi tantangan besar, terutama karena minimnya pengawasan serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan.
Alternatif ramah lingkungan menjadi solusi yang lebih bijak. Warga dapat memulai dengan memilah sampah organik dan anorganik di rumah masing-masing. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik bisa didaur ulang atau dikirim ke bank sampah. Langkah sederhana ini terbukti mampu mengurangi volume sampah yang dibakar sekaligus mendukung ekonomi sirkular berbasis masyarakat.
Selain itu, peran pendidikan dan sosialisasi publik menjadi kunci penting dalam mengubah perilaku masyarakat. Pemerintah bersama lembaga pendidikan perlu memperkuat kampanye lingkungan melalui program sekolah hijau, pelatihan pengelolaan limbah, serta gerakan penghijauan. Dengan edukasi yang konsisten, masyarakat akan lebih memahami bahwa pengelolaan sampah yang benar tidak hanya menjaga kebersihan, tetapi juga menyelamatkan kualitas udara dan kesehatan bersama.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia meninggalkan kebiasaan membakar sampah dan beralih ke cara pengelolaan yang lebih bertanggung jawab. Udara bersih adalah hak setiap orang, dan menjaga kualitasnya merupakan kewajiban bersama. Dengan langkah kecil seperti memilah, mendaur ulang, dan mengurangi penggunaan plastik, setiap individu dapat berkontribusi nyata bagi bumi yang lebih sehat. Jangan biarkan asap sampah menjadi warisan berbahaya bagi generasi masa depan. ***
Penulis : Dadan