JAKARTA, BERITAKITA || Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah tidak memiliki kaitan dengan upaya penyidikan ulang kasus pembunuhannya pada tahun 1993. Penegasan ini disampaikan Prasetyo usai Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang digelar di Istana Negara, Jakarta, pada Senin, 10 November 2025.
Prasetyo menyebut, keputusan pemerintah memberikan gelar tersebut didasarkan pada jasa besar Marsinah dalam memperjuangkan hak-hak buruh serta keteladanan sikapnya dalam menegakkan keadilan sosial. “Saya kira enggak ada hubungannya juga ya,” ujar Prasetyo. Ia menambahkan, penghargaan ini semata-mata diberikan untuk menghormati perjuangan tokoh-tokoh bangsa yang telah memberi inspirasi bagi generasi penerus.
Menurut Prasetyo, pemberian gelar ini merupakan hasil penilaian panjang terhadap rekam jejak Marsinah yang dikenal berani bersuara demi kesejahteraan pekerja. Pemerintah, kata dia, ingin menyoroti nilai perjuangan dan keberanian yang ditunjukkan almarhumah, bukan polemik seputar peristiwa tragis yang menimpa dirinya.
“Mari kita bersama-sama melihat ke depan,” ujar Prasetyo. Ia menekankan bahwa setiap masa memiliki tokoh-tokoh perjuangan dengan kontribusinya masing-masing. Dalam pandangannya, yang perlu diwarisi dari Marsinah adalah semangat juang dan komitmennya terhadap keadilan sosial bagi kaum pekerja.
Marsinah dikenal sebagai buruh perempuan di PT Catur Putra Surya (CPS) Sidoarjo, Jawa Timur. Pada awal Mei 1993, ia bersama rekan-rekannya melakukan aksi mogok kerja menuntut penyesuaian upah sesuai ketentuan pemerintah. Aksi tersebut menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami pekerja di masa itu.
Tragedi bermula ketika sejumlah buruh ditahan oleh pihak militer di Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Marsinah, yang tidak tinggal diam, mendatangi markas tersebut pada 5 Mei 1993 untuk menanyakan nasib rekan-rekannya. Sejak saat itu, ia tidak pernah kembali ke rumah.
Tiga hari kemudian, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di Nganjuk, Jawa Timur. Tubuhnya menunjukkan tanda-tanda penyiksaan berat dan kekerasan seksual. Kasus pembunuhan itu mengguncang publik nasional dan internasional, menyoroti pelanggaran terhadap hak asasi manusia di lingkungan kerja.
Kini, setelah lebih dari tiga dekade, nama Marsinah diabadikan sebagai simbol keberanian dan keteguhan hati seorang buruh perempuan yang menuntut keadilan. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional menjadi bentuk penghormatan negara atas perjuangannya, sekaligus pengingat bagi masyarakat tentang pentingnya keberanian dalam memperjuangkan hak-hak kemanusiaan. ***
Editor : Redaksi