INDRAMAYU, BERITAKITA || Simposium Pelaku Peserta Didik Menuju Transformasi Revolusi Pendidikan Berasrama. Sebagai narasumber Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., pada Minggu, 16 November 2025, menjadi ruang penting untuk menelaah kembali ke mana arah pendidikan Indonesia bergerak dan bagaimana praktik pembelajaran perlu ditata ulang agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern. Dalam pemaparannya, Prof. Laksono menekankan bahwa pendidikan harus kembali menjadi laku budaya yang hidup di tengah masyarakat. Ia menyampaikan, “Pendidikan tidak boleh tercerabut dari konteks yang membentuk manusia dan kebudayaannya.”
Materi yang ia bawakan bersandar pada analisis antropologis mengenai dinamika pendidikan nasional, khususnya bagaimana toleransi dan kesetiakawanan sosial menjadi fondasi kebangsaan. Dalam narasi yang dijelaskan, toleransi dipahami sebagai sikap aktif yang menuntut penghormatan terhadap keberagaman. Penegasan ini merujuk pada sejarah Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional yang menempatkan solidaritas sebagai dasar perjuangan kolektif. Narasumber menjelaskan secara tidak langsung bahwa nilai-nilai ini seharusnya melekat dalam perilaku peserta didik dan praktik pendidikan sehari-hari.
Selain itu, pemikiran Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan penting untuk memahami arah pendidikan Indonesia. Prof. Laksono menjabarkan keterkaitan pemikiran Ki Hadjar dengan gagasan Montessori dan Tagore yang menolak apartheid budaya. Ia mengingatkan kembali prinsip TRIKON Nambahi, Nandangi, dan Neges sebagai pedoman yang relevan bagi pembaruan pendidikan modern. Dalam kutipannya ia menegaskan, “TRIKON bukan sekadar teori lama, melainkan kompas bagi pendidikan yang ingin tetap berkembang tanpa kehilangan akar.”
Pembahasan kemudian bergerak pada pandangan mengenai pendidikan sebagai proses akulturasi antara dunia lama dan dunia baru. Melalui prinsip ini, identitas Indonesia modern terbentuk melalui dialog budaya yang terus bertransformasi. Prof. Laksono memaparkan bahwa ketidakseimbangan antara modernitas, globalisasi, dan keadilan sosial sering memicu friksi di sekolah maupun keluarga. Penjelasan tersebut menekankan bahwa perubahan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial yang melingkupinya, termasuk cara komunitas memaknai kehidupan.
Dalam pemaparannya, narasumber menyoroti berbagai krisis sosial-budaya yang muncul akibat pola pendidikan yang tidak peka terhadap realitas komunitas. Fenomena seperti pudarnya identitas budaya Jawa, renggangnya hubungan orang tua–anak karena tekanan sekolah, hingga maraknya persoalan seksualitas remaja, menjadi cermin rapuhnya sistem akulturasi dalam dunia pendidikan. Prof. Laksono menuturkan, “Ketika sekolah melepaskan diri dari konteks budaya, maka anak kehilangan pijakan untuk memahami dirinya.” Kondisi ini mendorong sebagian komunitas mencari model pendidikan alternatif yang lebih membumi.
Dalam menjelaskan bagaimana pendidikan bekerja sebagai sistem makna, Prof. Laksono menekankan bahwa kebudayaan bersifat dinamis dan membentuk cara pikir manusia. Sistem pendidikan yang terlalu administratif dan hierarkis sering mengabaikan sifat dasar kebudayaan tersebut. Ia menyampaikan bahwa kegagalan pendidikan nasional sebagian besar muncul karena sekolah mengutamakan ketertiban prosedural ketimbang memanusiakan anak. Pernyataan tidak langsung ini memperlihatkan adanya jarak antara nilai yang diharapkan dan praktik yang berlangsung di lapangan.
Arah transformasi pendidikan, menurutnya, hanya dapat dicapai melalui “laku antarbudaya” yang mengutamakan kemampuan mendengar, memahami, dan berdialog. Pendekatan ini menempatkan guru sebagai pembaca realitas sosial, bukan sekadar pelaksana kurikulum. Ia menambahkan dalam kutipannya, “Guru perlu membaca dunia anak sebelum mengajarinya membaca buku.” Contoh konkret diberikan melalui pengalaman mitigasi kelaparan di Sumba, yang berhasil dilakukan dengan menyelaraskan pendidikan, budaya, dan siklus alam.
Pada akhir sesinya, Prof. Laksono menegaskan bahwa perubahan pendidikan yang transformatif harus berakar pada pengalaman komunitas dan etnografi pendidikan. Pendidikan yang relevan adalah pendidikan yang mampu menghadirkan kebermaknaan, bukan sekadar memenuhi tuntutan formalitas. Dengan menghubungkan narasi budaya, identitas lokal, dan dinamika sosial, pendidikan Indonesia diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga utuh secara kemanusiaan. Ia menutup dengan kalimat yang kuat, “Pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang tumbuh bersama masyarakatnya.” ***
Penulis : Rizki