INDRAMAYU, BERITAKITA || Ma’had Al-Zaytun Indramayu menggelar Simposium Pelatihan Pelaku Didik ke-24 bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional, Minggu (16/11/2025). Acara berlangsung di Masjid Rahmatan Lil Alamin dengan mengusung tema besar “Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama dan Terwujudnya Indonesia Modern Abad 21 serta Usia 100 Tahun Kemerdekaan.”
Kegiatan ini dihadiri oleh Prof. Dr. (HC) Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang M.P. pimpinan Ma’had Al-Zaytun, serta narasumber utama Prof. Dr. Paskalis Maria Laksono, MA, Guru Besar Departemen Antropologi UGM. Turut hadir pula Dr. Haryadi Baskoro, M.Hum., pengelola Ensiklopedia Digital Toleransi dan Perdamaian Al-Zaytun.
Acara diawali dengan pembukaan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Sabta Janji Dharma Bakti, dilanjutkan sambutan para tokoh. Kemudian masuk ke sesi pelatihan pelaku didik yang diikuti oleh perwakilan yayasan, dosen, guru, mahasiswa, pelajar, pengurus asrama, petani penyangga ketahanan pangan, serta berbagai unit pendukung Mahad Al-Zaytun.
Dr. Haryadi Baskoro dalam sambutan menyampaikan bahwa momentum Hari Toleransi Internasional menjadi pengingat penting. “Ma-had Al-Zaytun telah meneguhkan dirinya sebagai pusat gerakan toleransi dan perdamaian, tidak hanya nasional tetapi juga internasional,” ungkapnya.
Beliau menambahkan, satu tahun sebelumnya AlZaytun telah mendeklarasikan Ensiklopedia Digital Toleransi dan Perdamaian. Gerakan ini, menurutnya, mendapat sambutan positif dari berbagai kampus dan kalangan akademisi di Indonesia.
Narasumber utama, Prof. Paskalis Laksono, memaparkan materi terkait relevansi toleransi berbasis Pancasila di era digital. Ia menegaskan pendidikan berasrama bukan sekadar ruang belajar, melainkan laboratorium sosial yang membentuk jiwa, nilai kebersamaan, dan kedisiplinan.
“Toleransi itu gerakan aktif. Kita bersatu karena saling memberi, mengorbankan ego, dan menghormati perbedaan,” kata Prof. Laksono di hadapan peserta.
Pemaparan beliau juga menyoroti sejarah perjalanan toleransi di Indonesia yang telah dikenal sejak era Majapahit melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, ia mengingatkan adanya kesenjangan antara ucapan toleransi dan praktik di lapangan.
Prof. Laksono memaparkan konsep Trikon yang digagas Ki Hajar Dewantara: Convergen (terbuka berinteraksi), Kontinuitas (berkelanjutan), dan Konsentris (berakar pada budaya lokal). Menurutnya, Azzaitun telah mempraktikkannya secara nyata.
Dalam refleksinya, profesor antropologi ini mengapresiasi sistem pendidikan berasrama Al-Zaytun yang memadukan kedisiplinan fisik, penguatan ekonomi mandiri, dan pembinaan karakter berbasis nilai universal.
Sesi berikutnya adalah arahan dari Syekh Al-Zaytun Panji Gumilang yang menegaskan pentingnya persatuan Indonesia sebagai landasan pendidikan toleransi. “Toleran itu memberi hak kepada semua yang berhak, menghormati yang berbeda, dan mengubah lawan menjadi sahabat,” ujarnya.
Beliau mengulas perbedaan makna antara persatuan dan kesatuan. Menurut Syekh, persatuan mengakui keberagaman yang saling melengkapi, sedangkan kesatuan cenderung memaksakan penyeragaman yang justru berpotensi konflik.
Syekh Al-Zaytun mengaitkan toleransi dengan nilai ilahiah. Ia menjelaskan bahwa Rabbul Alamin adalah Tuhan bagi seluruh apa dan siapa di alam semesta, sehingga tidak ada pembatasan Tuhan hanya untuk satu golongan.
Arahannya juga menekankan bahwa pendidikan kontemporer wajib menanamkan tiga kesadaran: kesadaran filosofi, kesadaran ekologis, dan kesadaran sosial. Hal ini menjadi inti pengelolaan Mahad Al-Zaytun menuju Indonesia modern.
Dari perspektif lingkungan, Syekh mengajak untuk menjaga ekosistem demi keberlangsungan hidup. Pangan mandiri, menurutnya, bukan slogan melainkan program nyata yang telah diterapkan di Al-Zaytun selama puluhan tahun.
Syekh mencontohkan bagaimana Al-Zaytun berhasil membudidayakan beras varietas unggul yang bahkan diklaim Jepang sebagai miliknya. Dengan riset dan eksperimen, hasil produksi di Al-Zaytun melampaui standar luar negeri.
Simposium ini juga diwarnai penampilan paduan suara Ma’had Al-Zaytun yang membawakan Himne Politeknik dan lagu-lagu bertema persatuan, toleransi, dan pengabdian pada bangsa.
Lagu Menanam Kesadaran, Menumbuhkan Kemanusiaan menjadi simbol ajakan untuk mempraktikkan toleransi sebagai tindakan nyata, bukan sekadar slogan. Liriknya mengajak masyarakat menjaga dunia secara bersama-sama.
Acara kemudian ditutup dengan doa bersama dan serah terima cendera mata dari Dr. Haryadi Baskoro kepada Syekh Al-Zaytun sebagai penghargaan atas kepemimpinan dan kontribusinya dalam gerakan toleransi dan perdamaian.
Simposium Hari Toleransi Internasional di Ma’had Al-Zaytun tahun ini menjadi ruang refleksi dan aksi nyata. Dari Indramayu, pesan persatuan dan pendidikan berasrama dikumandangkan untuk Indonesia yang toleran, damai, dan berperadaban di abad ke-21. ***
Penulis : Rizki
Sumber Berita: Rilis