JAKARTA, BERITAKITA || Di tengah kesibukan aktivitas medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, ada sebuah perubahan senyap namun berdampak besar yang terjadi di area Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Jika dulu aroma sampah organik mendominasi kawasan ini, kini wangi fermentasi lembut menyambut setiap pengunjung. Aroma itu berasal dari proses pembuatan eco-enzym, sebuah inovasi ramah lingkungan yang digagas oleh para sanitarian RSHS.
Setiap harinya, RSHS menghasilkan sekitar 400 kilogram sampah organik, sebagian besar berasal dari sisa makanan pasien. Alih-alih dibuang begitu saja, para sanitarian memilih memanfaatkannya sebagai bahan baku eco-enzym. Proses ini tidak memerlukan teknologi mahal atau perangkat modern. Cukup wadah fermentasi, campuran gula, dan waktu tiga bulan untuk menghasilkan cairan serbaguna yang kaya manfaat.
Gerakan Lingkungan dari Barisan Sanitarian
Inovasi ini muncul bukan dari proyek besar atau arahan formal, melainkan dari kepedulian personal para sanitarian terhadap kondisi lingkungan kota Bandung yang tengah bergulat dengan persoalan sampah. Mereka melihat bahwa rumah sakit — tempat yang identik dengan kesehatan — seharusnya juga menjadi pelopor kesehatan lingkungan.
“Setiap hari kami melihat banyak sampah organik terbuang begitu saja. Dari situlah muncul gagasan untuk mengubah beban menjadi berkah,” ujar salah satu sanitarian yang terlibat dalam program tersebut.
Semangat ini kemudian berkembang menjadi gerakan kolektif di internal RSHS. Mereka melakukan pelatihan, membangun ruang fermentasi sederhana, serta membuat standar operasional agar produksi eco-enzym berjalan higienis dan aman.
Eco-enzym yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk menurunkan beban pencemar di IPAL. Cairan ini juga diolah menjadi lebih dari sepuluh jenis produk ramah lingkungan, seperti:
sabun eco-enzym,
desinfektan alami,
cairan pembersih ruangan,
pengharum fermentasi,
bantal eco-enzym untuk terapi,
larutan pembersih lantai bebas bahan kimia keras.
Produk-produk tersebut dipakai langsung untuk kebutuhan internal rumah sakit, mulai dari kebersihan ruangan, perawatan fasilitas, hingga kenyamanan pasien.
Efisiensi biaya menjadi salah satu dampak paling signifikan dari program ini. Dengan memproduksi eco-enzym secara mandiri, RSHS berhasil menekan anggaran IPAL hingga puluhan juta rupiah setiap bulan. Penggunaan desinfektan dan pembersih kimia pun berkurang drastis karena digantikan oleh produk eco-enzym yang lebih ekonomis dan aman.
Selain penghematan, kualitas air olahan di IPAL pun mengalami peningkatan berkat sifat biodegradatif eco-enzym. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh RSHS, tetapi juga lingkungan sekitar yang menerima aliran air hasil olahan tersebut.
Program ini kini menjadi inspirasi bagi berbagai fasilitas kesehatan lain. Inovasi sederhana, murah, dan berbasis kepedulian ini menunjukkan bahwa langkah kecil dapat membawa dampak besar bagi lingkungan.
Dengan dukungan manajemen RSHS, para sanitarian berharap gerakan ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan direplikasi. Mereka membuktikan bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tugas tambahan, melainkan bagian integral dari upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia. ***
Penulis : Dadan