INDRAMAYU, BERITAKITA || Di ruang Mini Zeteso yang Megah, gema doa dan harapan mengalir di tengah prosesi wisuda. Deretan toga bukan sekadar simbol kelulusan, melainkan penanda lahirnya tanggung jawab baru. Di hadapan para wisudawan Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia, Rektor Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Fakih, MP. menyampaikan pesan yang lebih dari sekadar seremoni: sebuah panggilan pengabdian.
“Wisuda bukanlah akhir dari sebuah proses,” ucapnya mantap, “melainkan awal pengabdian.”
Kalimat itu seketika mengubah suasana. Gelar akademik, menurutnya, bukan mahkota kebanggaan semata, melainkan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan masyarakat dan bangsa, tetapi juga di hadapan Allah SWT.
Mengutip firman Allah dalam Surah At-Taubah ayat 105, Prof. Ahmad Fakih menegaskan bahwa ilmu harus menjelma menjadi kerja nyata. Bukan sekadar tersimpan di kepala, tetapi hadir dalam tindakan, kontribusi, dan manfaat bagi sesama.
Tema wisuda hari itu: menumbuhkan etos kerja, motivasi, dan disiplin dalam mewujudkan sumber daya manusia yang produktif, dinilai sangat relevan dengan kondisi bangsa. Indonesia, katanya, sedang menapaki jalan panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Namun jalan itu tidak cukup dibangun dengan beton dan baja. Fondasi utamanya adalah manusia, manusia yang berilmu, berintegritas, berdisiplin, dan memiliki etos kerja tinggi.
Ia mengutip sabda Rasulullah SAW bahwa Allah mencintai siapa pun yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan profesional. Pesannya tegas: etos kerja bukan sekadar nilai duniawi, melainkan bagian dari keimanan.
Di hadapan hadirin, Prof. Ahmad Fakih menyampaikan keyakinannya terhadap lulusan Al-Zaytun. Mereka, menurutnya, memiliki keunggulan khas: tidak hanya dibekali ilmu akademik dan keislaman, tetapi juga ditempa dalam lingkungan yang menanamkan nilai toleransi dan perdamaian.
Al-Zaytun digambarkannya sebagai kawah candradimuka lahirnya generasi penjaga harmoni sosial. Mereka siap berdialog lintas budaya, lintas iman, dan lintas kepentingan demi persatuan bangsa.
Dalam keberagaman Indonesia, toleransi bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirawat dengan kebijaksanaan.
Indonesia Emas 2045, menurut Prof. Ahmad Fakih, hanya akan terwujud bila generasi mudanya hadir sebagai pelaku pembangunan, bukan penonton. Sarjana dituntut siap bekerja, siap berkarya, dan siap menjaga persatuan NKRI.
Ia bahkan melontarkan optimisme besar: lulusan Al-Zaytun kelak tidak hanya menggerakkan ekonomi nasional, tetapi juga tampil sebagai tokoh-tokoh penting di tingkat nasional dan internasional. Mereka membawa nilai kemanusiaan, akhlak, dan perdamaian ke panggung dunia.
Menjelang akhir pidato, pantunpun mengalir ringan, namun sarat makna. Tentang iman yang berbeda namun tetap satu bangsa, tentang pikiran yang beragam namun satu tujuan.
Kemana pun para lulusan melangkah, di situlah nilai Al-Zaytun harus hidup. Ilmu dijunjung tinggi, akhlak dijaga, toleransi ditebarkan.
Wisuda hari itu pun bukan hanya perayaan kelulusan, melainkan peneguhan komitmen bahwa dari kampus inilah, lahir generasi yang menyejukkan, mempersatukan, dan mengabdikan diri sepenuh hati untuk Indonesia. ***
Penulis : Ali