Jakarta, BeritaKita – Aktor dan produser Abimana Aryasatya menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi industri perfilman Indonesia yang menurutnya tengah mengalami kemunduran. Ia menilai bahwa akar permasalahan yang merusak ekosistem perfilman nasional adalah keserakahan yang terus berulang dari waktu ke waktu.
Dalam sebuah pernyataan blak-blakan, Abimana menyoroti bagaimana produksi film saat ini cenderung mengedepankan kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Ia mengatakan, “Yang membunuh film Indonesia sebetulnya masih sama: keserakahan. Sekarang lagi terjadi lagi. Semua orang kerja. Ada sutradara yang setiap minggu bisa syuting satu film.”
Menurutnya, situasi tersebut membuat hasil akhir film menjadi monoton dan kehilangan kualitas artistik. “Apakah hasilnya bagus? Tidak. Akan begitu-begitu aja. Nyampai titik jenuh nanti penonton film Indonesia bilang, ‘film Indonesia gitu-gitu doang’,” ujarnya.
Abimana juga mengaku mulai kesulitan membedakan film satu dengan lainnya karena kemiripan yang terlalu mencolok. Ia menyampaikan, “Gua juga udah mulai enggak bisa ngebedain nih. Maaf Bapak-bapak ya, siapa tuh Bapak-bapak yang punya uang di sana? Iya. Enggak bisa ngebedain nih poster yang satu sama yang dua, judulnya sama, filmnya warnanya juga sama. Yang main kadang juga sama.”
Ia menegaskan bahwa sejak dulu, kerusakan dalam industri film lokal disebabkan oleh orientasi pada keuntungan semata. “Yang menghancurkan dari dulu adalah ini: keserakahan. Oh, serakah yang penting keambil duitnya. Habis itu, produsen value-nya turun,” tegasnya.
Abimana memperingatkan bahwa jika pola ini terus berlanjut, maka yang akan tersisa hanyalah segelintir orang yang benar-benar mencintai film. Ia menutup pernyataannya dengan nada prihatin, “Balik lagi kita nanti, sisanya cuma orang-orang yang cinta film. Sisanya cuma sedikit.”
Pernyataan Abimana menjadi refleksi keras terhadap realita yang tengah dihadapi industri perfilman tanah air. Ia berharap agar pelaku industri mulai kembali pada nilai-nilai idealisme demi menjaga masa depan film Indonesia. ***
Editor : Rizki