Indramayu, BeritaKita–Rabu, 30 Juli 2025, menjadi penanda yang istimewa bagi Syaykh Al-Zaytun, Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang. Di usianya yang ke-79, hanya selisih setahun dengan kelahiran Indonesia, beliau memilih untuk tidak merayakannya dengan pesta kemewahan. Sebaliknya, momen ini diabadikan dalam sebuah refleksi mendalam tentang masa depan Indonesia, yang beliau beri tajuk: “Bincang Bersama sebagai Manifestasi Doa Usia 79 Tahun Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang.” Hadir dalam forum berharga itu para tokoh pendidikan, tokoh lintas agama, jurnalis, profesor, dan peneliti, menjadi saksi bisu sebuah perbincangan yang dimulai dari akar-akar kehidupan beliau, menjejak masa lalu, dan merangkai visi masa depan Indonesia Raya. Acara diawali dengan nyanyian Indonesia Raya tiga stanza yang menggema, disusul tayangan video ucapan selamat dan doa dari anak-anak PAUD hingga civitas perguruan tinggi, serta rekanan lainnya, menyiratkan betapa luasnya jangkauan inspirasi beliau.
Memahat Karakter dari Jejak Kecil: Sebuah Kisah Persahabatan dan Pembelajaran Dini
“Yang saya dan kami hormati, atas nama diri saya dan keluarga, kepada seluruh sahabat yang telah meluangkan waktu, sudi bersama-sama kami duduk di sini, mengambil satu waktu yang mudah diingat, yakni tanggal 30 Juli,” demikian Syaykh membuka perbincangan, suaranya sarat akan rasa syukur dan kenangan. Tanggal tersebut, menurut catatan orang tua, adalah hari kelahirannya. Sebuah ucapan terima kasih tak terhingga terlantun untuk Bapak dan Ibu, yang telah membentuknya.
“Tidak bisa saya lukiskan. Saya tidak menyangka dari kecil punya sahabat yang luar biasa.” Kenangan masa kecil yang polos, di mana keinginan terbesarnya hanyalah memiliki banyak kawan, menjadi fondasi bagi hubungan-hubungan yang terjalin hingga kini. Nasihat orang tua yang sederhana namun mendalam, “Kawanmu adalah yang kamu bisa dekat dan kawanmu bisa dekat,” menjadi pusaka berharga yang tak lekang oleh waktu.
Di tengah masa di mana sekolah adalah barang mewah, Syaykh kecil menyadari sebuah anomali: mengapa tak banyak yang mau bersekolah, meskipun gratis dan bahkan memberinya makanan? Pertanyaan itu membekas dalam benaknya sejak 1953, saat ia mencoba mendaftar sekolah dasar.
Pengalaman unik ketika sang ayah, seorang kepala desa, menolak mengantarnya dengan jawaban lugas,
“Cah lanang kok jaluk dianter wong tua? (Anak laki-laki kok minta diantar orang tua?),” justru membukakan jalan baru. Ayahnya justru menunjuk tiga teman sebaya untuk diajak bersekolah bersama.
Keempat anak itu, Muhammad Sahla, Muhammad Muqaddar, dan Ilham, menapaki perjalanan ke sekolah bersama, menempuh jarak kurang dari 600 meter.
Pengalaman ditolak saat mendaftar karena dianggap “belum cukup umur” dan tak bisa “memegang telinga” menjadi anekdot yang membentuk pemahamannya tentang sistem. Namun, sang ayah dengan bijak menenangkannya:
“Tidak apa-apa. Nanti tahun depan kamu tidak usah daftar, masuk saja duduk di kelas.” Benar saja, setahun kemudian mereka berempat langsung diterima.
Kecepatan belajarnya sungguh luar biasa; dalam waktu kurang dari setahun, mereka sudah bisa membaca dan menulis, meskipun hanya diajarkan vokal A, I, U, E, O.
Pengalaman lain yang tak kalah membekas adalah saat ia, di bangku kelas tiga, diminta mengajar program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) kepada orang-orang tua di kampungnya.
“Kok ngajar Pak? Aku kan masih masuk sekolah,” protesnya. Namun, sang ibu memberikan jawaban yang menyentuh, “Sama-sama enggak bisanya, Nak. Kamu baru belajar, Uwak juga sedang belajar.” Dari sinilah ia belajar tentang keikhlasan dalam mengajar, sebuah prinsip yang tertanam kuat: “Guru itu yang penting apa yang dibisa, disampaikan dengan ikhlas.” Ini adalah pelajaran pertama yang mengukir jiwanya: keikhlasan adalah kunci pendidikan.
lMengukir Visi Melalui Spiritualitas dan Pragmatisme: Ekonomi, Filosofi, dan Politik
Orang tua Syaykh, seorang petani sekaligus kepala desa, menanamkan ajaran tentang manajemen pertanian. Meski tidak boleh terjun langsung ke sawah, ia diajari untuk memimpin, bertanya berapa orang yang bekerja, dan menanyakan nama mereka. Meskipun awalnya terasa merepotkan bagi anak kecil yang lapar, ia kemudian menyadari bahwa itu adalah pendidikan manajemen yang nyata. “Itu baru sadar, ternyata ini pendidikan,” kenangnya.
Namun, pendidikan ekonomi yang paling berkesan datang dari sang ibu. Wanita luar biasa itu mengajarkan tentang pengelolaan hasil pertanian, dari menjual jagung hingga telur. Ia diajari bagaimana menentukan harga, menjaga amanah, dan bahkan diawasi kejujurannya.
“Ibu punya cara. Didatangi yang membeli jagung, benar apa enggak harga segitu. Dinyatakan benar, terus percaya. Kita juga terus menjaga amanah.” Sebuah pelajaran moral yang tak ternilai. Ibu juga dengan cara unik mengajarkan tentang kehati-hatian: “Kenapa Mbah kok ibu gak boleh ke pasar? Banyak setan di tengah pasar.” Lalu dengan sederhana ia diajari mengeja kata “pasar” dan menunjuk huruf “S” di tengahnya sebagai simbol setan. Tanpa dalil yang rumit, kebijaksanaan itu terserap.
Uang hasil jerih payahnya, ia simpan di celengan bambu di dapur, sebuah tempat yang aman. Celengan ini kemudian membawanya pada impian besar: melanjutkan sekolah di Jombang. Meski awalnya ditentang, ia bersikeras ke Gontor setelah sang Kiai melarangnya pergi sebelum mahir membaca Al-Qur’an.
Di Gontor, ia menemukan bahwa tidak ada pelajaran Al-Qur’an khusus, namun kebiasaan membaca sendiri setelah Maghrib membuatnya memahami maksud Kiai. Dengan uang dari celengan, ia membeli buku pertamanya di Madiun: “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Bung Karno. Buku itu menjadi pegangan hidupnya hingga kini, menegaskan kecintaannya pada Sang Proklamator. “Saking cintanya kepada Bung Karno.” Dari sinilah ia berani berujar, “Madzhabku Karno dalam perjuangan, dan Pak Harto dalam ekonomi.”
Sebuah sintesis pemikiran yang mengakar kuat pada realitas perjuangan dan pembangunan bangsa.
Pengalaman pahit G30S/PKI di tahun 1965 saat ia berada di Gontor, melihat dan merasakan peristiwa itu, meninggalkan bekas yang tak terhapuskan. Ia bahkan tak mau lagi menyembelih hewan kurban, sebuah efek yang begitu dalam dari perjalanan panjang kehidupannya. Jakarta, pada tahun 60-an, adalah impian, setara dengan Mekah Al-Mukarromah bagi orang Jawa Timur. Ia bersikeras ke Jakarta, meskipun orang tuanya lebih memilih Yogyakarta. Dengan modal nekat, uang pinjaman dari pembeli padi ayahnya, dan berbekal “jimat” kartu pramuka Gontor, ia mengarungi perjalanan penuh hambatan. Sesampainya di Jakarta, ia terheran-heran melihat gemerlap kota, termasuk Hotel Indonesia dan Jembatan Semanggi, yang ia kira memiliki sungai di bawahnya.
Ia akhirnya diterima di IAIN Jakarta, di bawah bimbingan Profesor Bustami Abdul Ghani, yang mengujinya hanya dengan satu permintaan: “Coba kamu bicara bahasa Arab yang kamu bisa tanpa diikuti orang lain. Sendiri, monolog.” Ia melafalkan naskah “E. Christopher Columbus” dalam bahasa Arab.
Pengalaman ini membentuknya menjadi pribadi yang lebih luas dalam berpikir, bertemu dengan tokoh-tokoh yang pernah singgah di kampungnya, dan mulai memperkenalkan IAIN ke masyarakat Ciputat yang sebelumnya hanya mengenal BPS. Inilah awal mula keterlibatannya dalam pendidikan masyarakat, mendekatkan ilmu kepada khalayak ramai.
Merajut Masa Depan: Visi Pendidikan Revolusioner untuk Indonesia Abadi
“Dalam perjalanan ternyata pendidikan yang mencetak perjalanan seorang hamba Allah sampai umur 79 hari ini, sangat bersyukur. Dilempar oleh kehendak Tuhan di arena pendidikan.” Syaykh Abdussalam Panji Gumilang adalah bukti nyata bagaimana pendidikan dapat membentuk seorang individu dari “nol” hingga menjadi sosok inspiratif. “Kalau nol itu masih berharga. Justru nol lah yang paling berharga di dunia ini.” Baginya, nol adalah potensi tak terbatas yang hanya butuh angka di depannya untuk menjadi bermakna.
Di usianya yang ke-79, setelah “topo broto” 351 hari di Jalan Gatot Subroto, beliau merenungkan satu hal: “Bangsaku ini apa bisa sampai tahun 1945 itu menjadi cemerlang dengan ide-ide besarnya dan bangsanya menjadi bangsa yang teruji?” Ia mengamati bahwa masyarakat kini mendambakan sekolah unggulan, bahkan hingga ke luar negeri, seolah melupakan janji “Indonesia abadi.” “Padahal nyanyi kita: Marilah kita berjanji Indonesia abadi. Bukan Indonesia harga mati.”
Syaykh menawarkan sebuah gagasan revolusioner: investasi pendidikan sebagai satu-satunya jalan membangun Indonesia. “Berapapun besarnya, hanya 15 tahun akan dicapai hasilnya.” Ia menyoroti perbedaan antara pembangunan Jepang pasca-1945 dan Indonesia.
Jepang, dengan fondasi kuat dan pengalaman terbang jauh, bangkit lebih cepat, sementara Indonesia masih terbuai lagu “Naik Delman Istimewa.” Ia menegaskan, “Maka tidak boleh membandingkan seperti itu. Sekarang harus bangkit secara revolusioner.”
Transformasi revolusioner yang ia maksud adalah fokus pada pendidikan berasrama di 500 daerah di Indonesia, masing-masing seluas 3.000 hektare. Bukan untuk menanam sawit, melainkan “menanam pelajar supaya jadi pemimpin buahnya nanti.” Visi ini, meskipun mahal, adalah investasi jangka panjang. Dengan perkiraan biaya 10 triliun per kampus, 50 kampus per tahun dapat dibangun, sehingga 500 kampus akan terwujud dalam 2,5 periode kepresidenan.
Ini bukan tentang uang yang dihambur-hamburkan, melainkan tentang kemauan politik untuk mewujudkan “Indonesia abadi.”
Beliau juga mengkritisi frasa “NKRI harga mati.” “Harga mati sekali. Kapan majunya kalau sudah mati? Harga mati itu sekarang 3.500 pendapatan per kapita. Harga mati.” Baginya, Indonesia haruslah “abadi,” bukan “mati.” Al-Zaytun, sebagai lembaga swasta, telah membuktikan bahwa pendidikan berasrama dapat berjalan. “Mengapa negara yang punya segala macam tidak membangun seperti ini?” tanyanya. Di usia 79 tahun, Syaykh Abdussalam Panji Gumilang tidak hanya berbicara tentang masa lalu, melainkan terus menggalang semangat untuk masa depan, meyakini bahwa janji “Indonesia abadi” hanya bisa ditepati melalui investasi pendidikan yang revolusioner. ***
Epilog: Melangkah dari “Nol” Menuju Keabadian
Kisah Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang adalah cerminan perjalanan seorang anak bangsa yang ditempa oleh kehidupan, dididik oleh orang tua dengan kearifan lokal, dan dibentuk oleh peristiwa sejarah. Dari seorang anak desa yang polos, dengan impian sederhana tentang persahabatan, hingga menjadi seorang pemikir dan penggagas pendidikan visioner, beliau membuktikan bahwa setiap “nol” memiliki potensi tak terbatas untuk melompat menjadi “banyak.”
Refleksi di usianya yang ke-79 bukanlah sekadar perayaan pribadi, melainkan sebuah seruan universal bagi seluruh umat manusia. Sebuah pengingat bahwa masa lalu adalah guru terbaik, namun masa depan adalah kanvas yang harus dilukis dengan gagasan-gagasan revolusioner. Bahwa pendidikan, dengan segala tantangan dan biayanya, adalah investasi paling mulia yang akan menuai hasil jauh melampaui rentang usia manusia.
Dalam setiap langkah Syaykh, terpancar semangat keikhlasan, amanah, dan keberanian untuk bermimpi besar.
Mimpi tentang “Indonesia Abadi” bukanlah utopia, melainkan sebuah cita-cita yang hanya akan terwujud jika kita berani bertransformasi, berinvestasi pada generasi penerus, dan menanamkan nilai-nilai luhur yang telah teruji zaman.
Semoga kisah dan pemikiran beliau menjadi lentera, menerangi jalan bagi kita semua untuk terus berjuang, menebar ilmu, dan membangun peradaban yang berlandaskan kemajuan dan keabadian. Mari berjanji, dan wujudkan, “Indonesia Abadi” sebagai hadiah terindah untuk anak cucu kita. ***
Ali Aminulloh.