Jakarta, BeritaKita — Tokoh sosial dan aktivis kemanusiaan Aswar Wahab menyatakan dukungannya terhadap program ketahanan pangan nasional yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk lembaga sosial, pesantren, dan institusi pendidikan. Ia menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan Indonesia.
Menurut Aswar, tantangan ketahanan pangan akan selalu ada, terutama yang berkaitan dengan infrastruktur, kualitas sumber daya manusia (SDM), serta dampak dari perubahan iklim.
“Kalau tantangan ketahanan pangan itu relatif selalu ada. Terutama dari sisi infrastruktur seperti irigasi, transportasi, kualitas lahan, dan tentunya SDM. Kita juga harus waspada dengan perubahan iklim yang tidak menentu,” ungkap Aswar.
Ia menyambut baik partisipasi lembaga sosial dalam mendukung program ini. Menurutnya, upaya kolaboratif seperti itu sangat penting agar hasil dari program ketahanan pangan bisa langsung dirasakan oleh masyarakat yang membutuhkan.
“Kolaborasi antara pemerintah dan lembaga itu harus diperkuat. Tujuan kita adalah membantu mewujudkan ketahanan pangan, termasuk mendukung program makan bergizi yang sedang dijalankan pemerintah,” katanya.
Aswar juga menyoroti pentingnya memperluas pemahaman masyarakat tentang makna wakaf. Ia menilai bahwa wakaf tidak hanya terbatas pada pembangunan masjid, madrasah, atau makam, tetapi juga dapat diwujudkan dalam bentuk wakaf produktif, seperti pembebasan lahan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
“Wakaf lahan itu sangat bermanfaat. Daripada lahan tidak terpakai atau terbengkalai, lebih baik diwakafkan untuk ketahanan pangan. Wakif pun mendapat amal jariah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia memberikan apresiasi atas inisiatif Yayasan Rindang Indonesia yang mencanangkan program jangka panjang hingga tahun 2045, berupa pembebasan lahan 1.000 hektare untuk pertanian. Aswar menilai inisiatif ini sangat sejalan dengan semangat kemandirian pangan dan bisa menjadi contoh kolaborasi sosial yang produktif.
“Cita-cita itu halal hukumnya. Kalau target 2045 bisa tercapai lebih cepat, tentu lebih baik. Yang penting lahannya produktif dan bermanfaat bagi masyarakat,” tuturnya.
Aswar juga menyinggung kurangnya minat generasi muda terhadap profesi petani. Ia menilai hal ini terjadi karena adanya stigma negatif bahwa bertani adalah pekerjaan kelas rendah. Untuk mengatasi hal tersebut, ia mendorong pemerintah agar aktif mengedukasi anak muda dan mengubah paradigma tentang pertanian.
“Petani itu bukan pekerjaan rendahan. Justru tanggung jawabnya besar karena hasil kerjanya menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah harus rutin mengedukasi, terutama melalui lembaga pendidikan dan universitas,” tegasnya.
Terkait fenomena konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan properti, Aswar mengingatkan bahwa tren tersebut dapat mengancam ketahanan pangan di masa depan. Ia mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan untuk mempertahankan lahan produktif melalui skema wakaf dan kolaborasi sosial.
“Kalau semua orang hanya bikin klaster perumahan, lama-lama kita hanya bisa impor. Pemerintah harus memanfaatkan lahan produktif secara positif, agar kita tidak kehilangan peluang menjadi bangsa yang mandiri pangan,” pungkasnya. ***
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis