Jakarta, BeritaKita—Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan B Najamudin, meresmikan Tugu Keadilan Ekologis di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Peresmian tersebut berlangsung pada Sabtu, 20 September 2025, dan menjadi momentum penting dalam sejarah perjuangan lingkungan hidup di Indonesia.
Acara itu tidak hanya sekadar seremoni peresmian sebuah tugu. Kegiatan tersebut sekaligus dijadikan momentum untuk mendeklarasikan Hari Keadilan Ekologis Sedunia.
Deklarasi itu dipusatkan dalam rangkaian Pekan Raya Lingkungan Hidup ke-14 yang digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Agenda ini diikuti lebih dari 800 aktivis lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia, serta sejumlah perwakilan komunitas internasional.
Sultan B Najamudin menyampaikan bahwa tugu tersebut bukan hanya monumen fisik. Tugu itu merupakan simbol perjuangan martabat bangsa dalam menjaga kelestarian alam.
Menurut Sultan, keadilan ekologis adalah bagian dari hak hidup yang harus dijunjung tinggi oleh setiap bangsa. Ia menekankan bahwa hak sungai adalah mengalir tanpa racun, hak hutan adalah tumbuh tanpa dibakar, dan hak makhluk hidup adalah bertahan dalam keseimbangan yang adil.
“Melalui Tugu Keadilan Ekologis, kita tegaskan bahwa perjuangan ekologis adalah perjuangan martabat bangsa. Ini bentuk kolaborasi rakyat, aktivis, dan negara,” ujar Sultan.
Dalam kesempatan itu, Sultan juga menyinggung langkah konkret yang sedang dilakukan DPD RI. Lembaga tersebut telah mengusulkan dua rancangan undang-undang prioritas, yaitu RUU Pengelolaan Perubahan Iklim serta RUU Perlindungan Masyarakat Adat.
Kedua RUU tersebut diharapkan dapat menjadi payung hukum yang kokoh dalam menghadapi ancaman krisis iklim, sekaligus menjaga ruang hidup masyarakat adat yang selama ini berada di garis depan perjuangan ekologis.
Agenda peresmian ini sejalan dengan Astacita ke-8 Presiden Prabowo Subianto. Visi tersebut menegaskan pentingnya pembangunan berwawasan lingkungan, mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, serta menjaga keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang.
Sultan menekankan bahwa perjuangan ekologis tidak bisa dilakukan secara parsial. Perjuangan ini harus melibatkan negara, rakyat, dan masyarakat sipil dalam satu barisan yang kuat.
“Demokrasi kita harus menjadi green democracy, yakni mendengarkan suara rakyat sekaligus suara alam yang harus dijaga,” tegasnya.
Peresmian tugu ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Sultan B Najamudin. Ia didampingi tiga anggota DPD RI dari NTT, yaitu Abraham Paul Liyanto, Hilda Manafe, dan Angelius Wake Kako. Turut serta pula ustadz Zuhri M Zyasali dari Bangka Belitung.
Selain itu, hadir sejumlah tokoh daerah di Pulau Sumba. Di antaranya Bupati Sumba Barat Daya Ratu Wulla, Wakil Bupati Sumba Timur Yonathan Hani, serta perwakilan dari Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat.
Acara berlangsung meriah dengan karnaval budaya yang menghadirkan kekayaan tradisi empat kabupaten di Pulau Sumba. Ribuan warga tumpah ruah mengikuti perayaan, menampilkan puluhan penunggang kuda Sandelwood berbalut kain adat.
Sebagai simbol pelestarian flora endemik, dilakukan pula penanaman pohon cendana. Kegiatan itu dipimpin langsung oleh Sultan bersama tokoh adat dan masyarakat setempat.
Sebelum acara puncak, Sultan sempat mengunjungi rumah adat Sumba. Ia berdialog dengan para ibu penenun, melihat langsung aktivitas budaya, hingga membagikan buku untuk anak-anak sekolah.
Menurutnya, kunjungan itu menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh meninggalkan kearifan lokal. Nilai-nilai budaya harus berjalan seiring dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Sultan menegaskan bahwa tanggal 20 September harus menjadi pengingat kolektif bangsa Indonesia. Ia menyebut, bumi adalah titipan yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya dalam kondisi yang lebih baik daripada sekarang.
“Sumba adil bagi alam, alam adil bagi manusia. Di situlah letak keadilan sejati,” tutup Sultan dengan penuh keyakinan. ***
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Rilis