Jakarta, BeritaKita – Film Superman garapan terbaru James Gunn menjadi sorotan tajam karena dinilai menyisipkan kritik sosial dan politik terhadap konflik yang mencerminkan situasi dunia nyata. Dua negara fiktif dalam film tersebut, Boravia dan Jarhanpur, disebut-sebut sebagai metafora dari Israel dan Palestina.
Film ini menampilkan Boravia sebagai negara maju dengan kekuatan militer tinggi, sementara Jarhanpur digambarkan sebagai wilayah miskin dan tertindas yang hanya mampu melawan dengan batu dan doa. Dukungan Boravia oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat semakin memperkuat kesan paralel dengan konflik Israel–Palestina.
“Visualnya jelas banget,” ujar seorang pengulas film. Ia menilai suasana Jarhanpur divisualisasikan secara frontal sebagai daerah dengan rumah-rumah kumuh dan anak-anak yang berlarian menghindari serangan. “Bukan perang antar tentara, tapi penjajahan,” lanjutnya.
Dalam film ini, Superman digambarkan tidak bersikap netral. Ia turun langsung menghentikan agresi Boravia setelah menyaksikan pembantaian terhadap warga sipil. “Dia tidak diam, tidak netral, dan tidak menunggu perintah. Dia bertindak karena melihat ketidakadilan,” ungkap pengulas tersebut.
Sosok Superman kali ini dianggap menjadi suara nurani di tengah dunia yang kompleks dan sarat propaganda. Ia digambarkan sebagai tokoh yang tidak memihak secara politik, namun berani bertindak saat melihat penderitaan manusia.
Dalam salah satu adegan, Lois Lane bahkan menyampaikan peringatan kepada Superman tentang kompleksitas politik global. Namun di sisi lain, ia juga mengakui pentingnya keberanian untuk berpihak kepada kebenaran, meski idealistik.
Film ini sempat memunculkan kontroversi setelah aktor dan komedian Mesir, Bassem Youssef, disebut-sebut dipotong perannya. Spekulasi berkembang bahwa keputusan itu terkait kritik Youssef terhadap Israel, meskipun James Gunn menyatakan bahwa karakter tersebut telah dihapus sejak awal penyusunan naskah final.
Ironisnya, aktris lain yang secara terbuka mendukung Palestina tetap tampil dalam film ini sebagai cameo dan mendapat sambutan meriah dari penonton.
Karakter Lex Luthor dalam film ini pun menarik perhatian karena banyak pihak menilai sosoknya menyerupai gabungan tokoh nyata seperti Donald Trump dan Elon Musk. Ia digambarkan sebagai miliarder yang memanipulasi teknologi, menyebar propaganda, dan menjebak lawan politiknya ke dalam “pocket universe”.
“Dari dulu komik superhero itu isinya sindiran politik. Dari Superman lawan Nazi sampai X-Men soal diskriminasi. Jadi wajar kalau sekarang Superman membela rakyat tertindas,” ujar pengulas itu lagi.
Film ini juga mengalami perubahan judul dari Superman: Legacy menjadi hanya Superman. Banyak pihak menilai perubahan tersebut dilakukan untuk memberi kesan lebih universal dan menghapus kesan agenda politis yang terlalu eksplisit.
Dengan segala kontroversi dan pesan moral yang kuat, Superman arahan James Gunn tampil bukan hanya sebagai film aksi biasa, melainkan sebagai cermin yang mengajak penonton untuk berpikir ulang tentang kekuasaan, keberpihakan, dan kemanusiaan di dunia nyata.
“Boravia dan Jarhanpur mungkin fiktif, tapi rasa sakit dan ketidakadilan yang mereka alami terasa terlalu nyata untuk disebut kebetulan,” pungkasnya. ***
Editor : Rizki
Sumber Berita: https://youtu.be/TbpSFzo0zJU?si=OhA1-AXmwSevFR2I