Jakarta, Berita Kita — Grab Indonesia menyampaikan kekhawatirannya terhadap wacana pengangkatan mitra pengemudi ojek daring menjadi karyawan tetap. Country Managing Director Grab Indonesia, Neneng Goenadi, menilai bahwa kebijakan tersebut dapat merugikan mayoritas mitra pengemudi dan berisiko memicu dampak ekonomi lanjutan, terutama terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Pernyataan tersebut disampaikan Neneng dalam sesi jumpa pers yang digelar di Jakarta Selatan pada Jumat (13/6). Ia mengungkapkan bahwa skema pengangkatan mitra menjadi karyawan secara menyeluruh tidak sebanding dengan kemampuan perusahaan dalam menyerap tenaga kerja dengan status penuh waktu.
“Kalau seluruh mitra pengemudi harus jadi karyawan, kemungkinan besar hanya sebagian kecil yang bisa diserap,” ungkap Neneng.
Ia menjelaskan, keterbatasan itu disebabkan oleh kewajiban perusahaan untuk memenuhi hak-hak karyawan, seperti pemberian gaji tetap, cuti, dana pensiun, dan tunjangan lainnya. Neneng mencontohkan kebijakan Riders’ Law di Spanyol yang diberlakukan sejak tahun 2021, di mana pemerintah mewajibkan pengangkatan mitra kurir daring menjadi karyawan.
“Saat itu, salah satu platform hanya mampu mengangkat 17 persen mitranya sebagai karyawan tetap,” ujarnya.
Neneng mengkhawatirkan jika kebijakan serupa diterapkan di Indonesia. Menurutnya, pengemudi yang tidak terserap akan kehilangan mata pencaharian dan sulit mencari pekerjaan baru.
“Kebayang kalau di Indonesia hanya 17 persen yang bisa diserap, yang lain mau ke mana? Bagaimana mereka mendapatkan income (pendapatan)?” ucap Neneng.
Ia juga menekankan perbedaan esensial antara status kemitraan dan karyawan. Dalam skema karyawan, pengemudi akan terikat pada jam kerja tetap, harus melalui proses seleksi seperti wawancara dan evaluasi rutin, serta memiliki risiko pemutusan hubungan kerja bila kinerjanya tidak sesuai standar.
“Begitu dia di-PHK, panik cari kerja, kan nggak gampang. Kecuali memang banyak sekali lapangan pekerjaan tersedia,” tambahnya.
Lebih jauh, Neneng menyoroti efek lanjutan dari berkurangnya jumlah mitra pengemudi terhadap pelaku UMKM yang menjadi mitra GrabFood dan GrabExpress. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar merchant GrabFood merupakan UMKM yang sangat bergantung pada jasa pengantaran.
“Sebanyak 90 persen merchant GrabFood adalah UMKM. Kalau jumlah mitra menyusut, ini bisa menggerus arus ekonomi UMKM yang mayoritas mengandalkan pesanan online,” jelas Neneng.
Sebagai ilustrasi, ia mengungkapkan pengalaman di Jenewa, Swiss, di mana layanan pengantaran makanan menurun hingga 42 persen setelah Uber Eat diwajibkan mengangkat mitra pengemudi menjadi karyawan.
Menurut Neneng, pendekatan yang mempertahankan fleksibilitas kerja justru menjadi kunci keberhasilan ekonomi digital di Indonesia. Grab berharap pembuat kebijakan mempertimbangkan dampak luas dari perubahan status kerja terhadap pengemudi dan pelaku ekonomi kecil. ***
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis