Jakarta, BeritaKita — Di tengah gegap gempita pembangunan yang menghiasi langit Jakarta dengan deretan gedung pencakar langit dan kawasan bisnis megah, terselip kenyataan getir yang jarang disorot publik. Kota yang tak pernah tidur ini kini menghadapi persoalan serius: lahan pemakaman kian menipis dan hampir habis di beberapa wilayah. Sabtu, (1/11/25).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan lahan pemakaman menurun secara signifikan. Sementara itu, kebutuhan ruang untuk perumahan, perkantoran, hingga pusat perbelanjaan terus meningkat tajam. Akibatnya, Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang dulu menjadi bagian penting dari tata ruang kota kini terdesak oleh laju pembangunan yang masif.
Di kawasan Penggilingan, Jakarta Timur, kondisi keterbatasan lahan semakin terasa nyata. TPU setempat kini berada dalam situasi kritis. Suryanto (52), petugas pemakaman yang telah mengabdikan diri selama dua dekade, mengaku kesulitan mencari lahan baru untuk warga yang meninggal dunia.
Menurutnya, tempat yang tersedia hampir tidak ada lagi. Ia mengatakan, “Sudah hampir tidak ada tempat lagi. Kalau ada yang meninggal, kami harus putar otak, kadang terpaksa tumpang tindih makam lama.”
Fenomena keterbatasan lahan ini tidak hanya terjadi di Penggilingan. Beberapa TPU lain seperti Karet Bivak, Menteng Pulo, dan Tegal Alur juga menghadapi permasalahan serupa. Sebagian besar telah menerapkan sistem pemakaman tumpang tindih hingga tiga jenazah dalam satu liang, dengan jarak waktu tertentu. Solusi darurat ini diambil untuk menampung kebutuhan pemakaman yang terus meningkat setiap tahun.
Namun, langkah tersebut membawa dampak sosial dan emosional yang tidak kecil bagi masyarakat. Banyak warga merasa kehilangan nilai sakral dari tempat peristirahatan terakhir keluarganya. Rani (37), warga Cakung, menuturkan pengalamannya ketika kesulitan mencari lahan untuk memakamkan ibunya. Ia berkata, “Kalau makamnya ditumpuk atau dipindah, rasanya seperti kehilangan dua kali.”
Sementara itu, di sisi lain kota, deru pembangunan terus menggema. Gedung-gedung megah, apartemen mewah, dan pusat bisnis baru bermunculan di berbagai sudut ibu kota. Setiap meter tanah dihitung berdasarkan nilai ekonominya, sedangkan nilai sosial dan kemanusiaan sering kali terabaikan.
Pemerhati tata kota, Ir. Bagus Pranowo, menilai kondisi ini sebagai bentuk ironi besar dari wajah modernisasi Jakarta. Ia menyebut bahwa pembangunan ideal seharusnya tidak hanya memikirkan ruang untuk hidup, tetapi juga ruang untuk mati dengan layak. “Lahan pemakaman adalah bagian dari ekosistem kota yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Upaya pemerintah untuk memperluas area pemakaman ke wilayah penyangga seperti Bekasi dan Depok memang sudah dilakukan. Namun, kebijakan tersebut justru menimbulkan masalah baru. Bagi warga berpenghasilan rendah, biaya transportasi dan pemakaman di luar wilayah Jakarta sering kali terlalu berat untuk ditanggung.
Situasi ini menunjukkan bahwa pembangunan kota seharusnya tidak hanya berorientasi pada beton dan baja. Pembangunan sejati adalah yang mampu menyeimbangkan kebutuhan fisik dan spiritual warganya. Keberadaan lahan pemakaman merupakan simbol penghormatan terakhir terhadap kehidupan manusia, bukan sekadar lahan tanpa nilai ekonomi.
Kini, di antara deretan gedung menjulang dan jalanan yang tak pernah sepi, nisan-nisan yang berdempetan menjadi saksi bisu perubahan zaman. Di kota yang terus tumbuh ke atas, ruang untuk beristirahat justru makin menipis. Jakarta, dengan segala kemegahannya, perlahan kehilangan tempat bagi warganya untuk berpulang dengan tenang. ***
Penulis : Dadan