Jakarta, BeritaKita—–tahun 1964, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah negara. Keputusan itu menjadi tonggak penting dalam perjalanan ekonomi bangsa, menandai kedaulatan penuh Indonesia di bidang moneter setelah masa penjajahan yang panjang.
Asal-usul nama “rupiah” ternyata memiliki sejarah yang lebih tua dari usia republik itu sendiri. Kata ini berakar dari bahasa Sanskerta, yakni rupaya, yang berarti “perak”. Istilah tersebut muncul karena pada masa lampau, logam mulia seperti perak menjadi bahan utama dalam pembuatan koin yang berfungsi sebagai alat tukar.
Penggunaan istilah rupaya pertama kali dikenal di wilayah India Timur pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sher Shah Suri. Ia mencetak koin perak dengan berat sekitar sebelas gram yang disebut rupiya. Koin itu kemudian menjadi dasar sistem moneter di wilayah India dan sekitarnya selama berabad-abad.
Seiring waktu, penyebutan rupaya mengalami perubahan pelafalan menjadi “rupee” di India. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh pergeseran bahasa, tetapi juga pengaruh dari kolonialisme Inggris yang membawa sistem keuangan modern ke kawasan Asia Selatan.
Sementara itu, di wilayah kepulauan Nusantara, istilah yang sama turut mengalami penyesuaian. Dalam lidah masyarakat lokal, rupaya berubah menjadi “roepiah”, sesuai ejaan lama yang digunakan pada masa Hindia Belanda. Seiring perubahan ejaan Bahasa Indonesia pada 1972, istilah tersebut kini ditulis menjadi “rupiah”.
Menurut catatan dari akun sejarah Dokumen Revolusi, penggunaan nama rupiah sebagai mata uang Indonesia mulai menguat setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Saat itu, pemerintah berupaya mengganti seluruh sistem moneter peninggalan kolonial dengan simbol-simbol nasional yang baru.
Pakar ekonomi dan sejarah moneter, Agus Santoso, menjelaskan bahwa pemilihan nama “rupiah” bukan keputusan yang dibuat secara kebetulan. “Rupiah bukan sekadar nama mata uang. Ia adalah simbol kedaulatan dan identitas bangsa Indonesia setelah berabad-abad dijajah,” ujarnya.
Sebelum rupiah ditetapkan, Indonesia sempat menggunakan beberapa jenis alat pembayaran, seperti gulden Belanda, uang pendudukan Jepang, dan uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Semua bentuk uang itu dianggap mewakili kekuasaan asing yang berkuasa di tanah air.
Pemerintah Indonesia kemudian mencetak uang baru sebagai wujud kemerdekaan finansial. Uang tersebut diterbitkan pertama kali oleh Bank Negara Indonesia (BNI) pada 3 Oktober 1946, yang dikenal sebagai Oeang Republik Indonesia atau ORI.
Penerbitan ORI menjadi momentum bersejarah karena menandai babak baru dalam perjalanan ekonomi nasional. Masyarakat menyambut uang itu dengan penuh kebanggaan, meski nilainya belum stabil karena kondisi politik dan ekonomi yang masih labil.
Setelah periode ORI berakhir, pemerintah melalui Bank Indonesia mulai mengambil alih peran sebagai otoritas tunggal dalam penerbitan mata uang. Sejak saat itu, rupiah menjadi simbol resmi ekonomi Indonesia.
Dalam perjalanannya, rupiah telah mengalami berbagai perubahan desain dan nilai tukar. Dari masa awal kemerdekaan hingga era modern, rupiah menjadi saksi dinamika ekonomi nasional, mulai dari inflasi tinggi hingga reformasi keuangan.
Rupiah juga mencerminkan perjalanan budaya bangsa. Setiap lembar uang memuat gambar pahlawan, tokoh nasional, hingga keindahan alam Indonesia, yang mencerminkan jati diri negeri kepulauan ini.
Pada masa Orde Baru, kebijakan moneter berfokus pada stabilitas nilai rupiah agar dapat mencerminkan kekuatan ekonomi nasional. Pemerintah berupaya menjaga kestabilan inflasi dan kurs terhadap mata uang asing.
Namun, krisis moneter tahun 1998 sempat mengguncang nilai rupiah secara signifikan. Peristiwa itu menjadi pelajaran penting tentang pentingnya pengelolaan ekonomi yang hati-hati dan berdaulat.
Kini, di era digital, rupiah tidak hanya hadir dalam bentuk uang kertas dan logam, tetapi juga dalam bentuk elektronik. Transformasi ini menunjukkan adaptasi rupiah terhadap kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup masyarakat modern.
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Arif Hidayat, menegaskan bahwa rupiah memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam sistem ekonomi nasional. “Rupiah bukan hanya alat pembayaran, tetapi juga lambang kedaulatan negara yang harus dijaga dan dihormati,” katanya.
Melalui perjalanan panjang dari rupaya hingga rupiah, mata uang ini telah menjadi lebih dari sekadar alat tukar. Ia menjelma menjadi lambang persatuan, semangat nasionalisme, dan identitas bangsa Indonesia di kancah dunia.
Sejarah nama rupiah mengingatkan bangsa ini bahwa nilai sejati sebuah mata uang tidak hanya ditentukan oleh kurs atau nominalnya, tetapi juga oleh sejarah dan perjuangan yang melandasinya.
Hingga kini, setiap lembar rupiah terus beredar sebagai saksi sejarah perjuangan bangsa Indonesia menuju kemandirian ekonomi dan kedaulatan nasional yang sesungguhnya. ***
Editor : Redaksi
Sumber Berita: https://youtube.com/shorts/Jk9pslWh1lo?si=sCiS9S1nBzx3LeU-