Jakarta, BeritaKita—-Kisah getir seorang kepala desa sederhana bernama Tengku Munirwan mencuat ke permukaan dan mengguncang nurani banyak pihak. Ia bukan koruptor, bukan perampok uang rakyat, bukan pula pejabat yang menimbun harta haram. Ia hanyalah anak desa yang mencoba menanam harapan lewat sebutir benih padi.
Benih itu dikenal dengan nama IF8, sebuah varietas padi sederhana namun membawa dampak luar biasa bagi petani. Panen meningkat berlipat ganda, perut rakyat terisi, dan senyum petani kembali mekar. Di banyak sawah, hasil panen membuktikan betapa benih tersebut mampu menghadirkan kesejahteraan nyata.
Namun, alih-alih diberi penghargaan, Tengku Munirwan justru mendapat balasan pahit dari negara. Bukannya pembinaan, yang ia terima adalah jeratan hukum. Bukan pelukan, yang ia dapat justru jeruji besi.
Alasan yang digunakan aparat penegak hukum adalah karena benih tersebut belum mengantongi sertifikasi resmi. Bagi birokrasi, selembar kertas itu lebih penting daripada kenyang dan sejahteranya rakyat.
Peristiwa ini menimbulkan ironi yang mendalam. Birokrasi yang seharusnya menjadi pelindung inovasi justru berubah menjadi penghalang. Inovasi dari desa, yang lahir dari keringat rakyat kecil, dianggap melanggar aturan.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IPTEK dengan jelas menyebutkan hak setiap warga negara untuk berperan serta dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Dalam pasal 24 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta. Pada ayat 2, dinyatakan bahwa peran serta tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk usaha nyata, baik perseorangan maupun kelompok.
Lebih jauh, ayat 3 menegaskan bahwa pemerintah wajib memberikan dorongan, kemudahan, dan perlindungan kepada masyarakat yang melaksanakan peran itu. Artinya, secara hukum, Tengku Munirwan justru menjalankan amanat undang-undang.
Ia menguasai ilmu, memanfaatkannya untuk kebaikan, dan memajukan teknologi sederhana yang terbukti meningkatkan produktivitas. Seharusnya negara hadir dengan tangan yang menolong, bukan belenggu hukum yang melumpuhkan.
Salah seorang aktivis tani mengatakan bahwa tindakan hukum terhadap Munirwan adalah bentuk kriminalisasi terhadap rakyat kecil. “Menetapkan beliau sebagai tersangka sama saja dengan memenjarakan harapan petani,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa langkah aparat ini juga dianggap sebagai bentuk pembungkaman suara desa. “Ini menelanjangi wajah hukum yang selalu tajam ke bawah, namun tumpul ke atas,” tambahnya lagi.
Kenyataan ini memperlihatkan wajah buram hukum di negeri yang mengaku menjunjung tinggi keadilan. Hukum seakan lebih berani terhadap orang desa, sementara mereka yang menggarong uang rakyat justru bisa melenggang bebas.
Tengku Munirwan sejatinya adalah pionir pangan. Ia membuktikan bahwa desa mampu berdiri tegak tanpa harus tunduk pada permainan impor dan dominasi pasar yang dikendalikan kelompok tertentu.
Benih IF8 adalah simbol perlawanan dari tanah desa. Dari sawah yang sederhana, lahir inovasi yang mampu memberi makan bangsa. Dari tangan seorang kades, hadir harapan bagi ribuan petani.
Namun kriminalisasi terhadapnya justru mematahkan semangat banyak pihak. Petani yang semula penuh harapan, kini kembali dihantui rasa takut. Inovasi pun kembali terpasung oleh belenggu aturan yang kaku.
Seorang tokoh masyarakat menyampaikan bahwa negara seharusnya merangkul orang-orang seperti Munirwan. “Kalau benar negara ini berpihak kepada rakyat, seharusnya beliau dipeluk, didukung, dan diberi jalan agar benihnya resmi diakui,” katanya.
Menurutnya, bangsa besar tidak lahir dari ruang rapat berpendingin udara, melainkan dari peluh petani di sawah. “Bangsa yang besar lahir dari sawah, bukan dari rapat beras,” tuturnya menegaskan.
Tengku Munirwan bukan penjahat. Ia adalah pejuang pangan yang layak dihormati. Kriminalisasi atas dirinya adalah bukti betapa negeri ini kerap lupa pada kekuatan sejati yang ada di tangan rakyat kecil.
Hari ini, nama Munirwan telah menjadi simbol perlawanan. Ia mewakili suara desa, suara sawah, dan suara rakyat yang selama ini dikalahkan oleh aturan yang tak memihak.
Salam hormat untuk petani, salam hormat untuk Munirwan. Sebab dari mereka, negeri ini masih bisa makan dan bertahan. ***
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Mujahidinduniaislami