Sleman, Berita Kita – Sengketa hukum yang melibatkan 13 santri Pondok Pesantren Ora Aji di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, akhirnya berakhir dengan perdamaian. Kedua pihak yang sebelumnya saling melaporkan atas dugaan penganiayaan dan pencurian sepakat menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan.
Kasus ini mencuat setelah terjadi dugaan pencurian yang dilakukan oleh seorang santri, yang kemudian memicu dugaan kekerasan oleh sejumlah santri lainnya. Peristiwa tersebut sempat menarik perhatian publik karena menyangkut lembaga pendidikan berbasis keagamaan, sehingga memunculkan keprihatinan terkait penanganan konflik di lingkungan pondok pesantren.
Proses perdamaian berlangsung melalui musyawarah yang melibatkan tokoh masyarakat, perwakilan pondok pesantren, serta pihak keluarga korban. Musyawarah itu menghasilkan kesepakatan damai yang dituangkan dalam perjanjian tertulis pada Selasa, 3 Juni 2025, di lingkungan pesantren yang beralamat di Butukundang, Kalurahan Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
Dalam perjanjian tersebut, pihak pertama yaitu Rade Candra, dan pihak kedua yaitu perwakilan pengurus pondok pesantren atas nama Ahmad Imam Bukhari Walid Firmantoro, Iskandar Putra Rizki Pratomo, Lutfi Muhammad Haikais Munir Rizki, dan Aris Rohmanto, sepakat menyelesaikan perkara secara damai. Mereka mewakili 13 santri yang masih di bawah umur, termasuk Jefri Darmawan, Yusuf Midan, Ainul, dan M. Iqbal Nurbaya.
Laporan polisi sebelumnya telah dibuat oleh kedua belah pihak. Pihak pertama melaporkan kejadian dugaan penganiayaan ke Polsek Kalasan, sementara pihak kedua melalui Andriansyah dan Natagala melaporkan dugaan pencurian ke Polda DIY dan Polres Sleman. Namun, setelah melalui proses mediasi dan komunikasi terbuka, seluruh laporan resmi tersebut dicabut.
“Saya pribadi dan selaku ketua yayasan menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa yang telah terjadi,” ucap perwakilan dari pihak pondok pesantren dalam pertemuan tersebut.
Pencabutan laporan dilakukan secara resmi di hadapan penyidik kepolisian, dengan disaksikan oleh tokoh masyarakat serta mediator dari masing-masing pihak. Perwakilan korban, Nat Gilang, juga secara terbuka mencabut laporannya sebagai bentuk iktikad baik untuk menyudahi perselisihan.
Dari pihak kepolisian, penyidik menyampaikan bahwa proses hukum resmi telah dihentikan. “Kami dari pihak kepolisian mengharapkan kejadian seperti ini tidak terulang kembali, dan keduanya bisa saling memaafkan serta menjaga hubungan baik ke depan,” ujar penyidik dari PPA Sleman.
Penyelesaian ini menjadi contoh penyelesaian konflik yang mengedepankan nilai kekeluargaan dan keikhlasan. Kedua pihak menegaskan bahwa kesalahan telah diakui bersama dan diselesaikan dengan semangat saling memahami. Kesepakatan tersebut juga menunjukkan bahwa penyelesaian non-litigasi dapat menjadi jalan keluar yang damai dalam menyikapi konflik sosial di lingkungan pesantren. ***
Penulis : Rizki
Sumber Berita: https://youtu.be/muTk66MFAVA?si=K6E3rXrWQEPYeyYv