Jakarta, BeritaKita — Setelah terpilih mendampingi Prabowo Subianto sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024–2029, Gibran Rakabuming Raka masih menghadapi sorotan tajam dari publik dan pengamat politik. Kritik terhadap kapasitas dan legitimasi politiknya terus bergulir, memunculkan enam alasan utama mengapa Gibran dinilai belum siap mengemban tanggung jawab besar sebagai orang nomor dua di negeri ini.
Posisi wakil presiden bukanlah panggung percobaan atau tempat magang. Dalam sistem presidensial Indonesia, jabatan ini menuntut kematangan politik, kapasitas strategis, dan ketangguhan dalam krisis. Sementara itu, banyak pihak menilai Gibran belum memenuhi seluruh prasyarat tersebut.
1. Minimnya Pengalaman Pemerintahan
Pengalaman Gibran dalam pemerintahan terbilang baru dan terbatas. Ia hanya menjabat sebagai Wali Kota Solo sejak 2021, bahkan belum menyelesaikan satu periode penuh.
“Gibran baru mengelola sebuah kota kecil dengan populasi sekitar 500 ribu jiwa. Ia belum pernah menghadapi konflik kebijakan berskala nasional atau berurusan dengan dinamika hubungan luar negeri,” terang seorang analis politik nasional.
Dari pengelolaan drainase dan pemberdayaan UMKM lokal, Gibran kini dihadapkan pada isu-isu kompleks seperti ketegangan di Laut Cina Selatan, krisis Papua, hingga strategi pertahanan dan perdagangan internasional. Lompatan tanggung jawab itu dinilai terlalu drastis.
2. Penguasaan Isu Strategis yang Lemah
Ketika debat calon wakil presiden berlangsung pada akhir 2023, Gibran lebih banyak dikenal lewat candaan dan analogi populer ketimbang gagasan substansial.
“Ia pernah menjelaskan hilirisasi industri lewat perumpamaan game dan minuman energi. Lucu memang, tapi substansinya sangat minim,” ujar pengamat ekonomi pembangunan.
Ketiadaan pandangan strategis terhadap proyek besar seperti IKN, transisi energi, dan kebijakan karbon trading membuatnya dinilai belum menunjukkan kesiapan untuk merumuskan arah kebijakan nasional, terlebih saat presiden berhalangan hadir.
3. Kontroversi Politik Dinasti
Gibran tidak bisa dilepaskan dari citra politik dinasti, apalagi setelah Mahkamah Konstitusi mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden hanya beberapa bulan sebelum masa pendaftaran. Keputusan tersebut diambil oleh Anwar Usman, paman Gibran sendiri, yang kemudian dicopot karena pelanggaran etik berat.
“Masuknya Gibran ke gelanggang nasional bukan dari jalur meritokrasi, tapi lewat jalan pintas kekuasaan,” tegas seorang akademisi hukum tata negara.
Hal ini menciptakan luka kepercayaan publik yang serius, karena muncul kesan bahwa posisi Gibran lebih merupakan hasil penempatan elit, bukan hasil dari pertarungan gagasan dan track record politik yang terbukti.
4. Belum Teruji dalam Krisis Nasional
Gibran belum pernah menghadapi krisis besar di panggung nasional. Padahal, seorang wakil presiden diharapkan dapat mengambil alih tanggung jawab ketika negara berada dalam situasi darurat, seperti lonjakan harga energi global atau ketegangan diplomatik dengan negara tetangga.
“Seorang pemimpin tidak diukur dari senyum saat kampanye, tapi dari ketegasannya ketika badai datang,” kata pengamat kebijakan publik dari LIPI.
Tanpa pengalaman krisis, kepemimpinan Gibran dinilai masih terlalu prematur untuk menghadapi gejolak besar yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Dalam situasi politik nasional yang kian kompleks dan globalisasi yang menuntut ketanggapan, jabatan wakil presiden tidak bisa diisi oleh pemimpin yang hanya mengandalkan popularitas atau hubungan darah semata. Negara ini, sebagaimana disampaikan oleh banyak tokoh, membutuhkan sosok yang matang secara politik, tajam secara intelektual, dan tangguh secara emosional. Gibran mungkin sudah resmi terpilih, namun publik tetap memegang hak untuk mempertanyakan: apakah ia benar-benar siap mengemban mandat sebesar ini?
Berikutnya: bagian kedua dari laporan ini akan membahas dua alasan lain yang memperkuat pandangan bahwa Gibran belum layak memikul beban sebagai wakil presiden. ***
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis