Operasi ini bukan bagian dari diplomasi panjang di forum internasional. Dunia hanya mampu berdebat dan menunjuk dengan jari, sementara darah rakyat Palestina terus mengalir. Malam itu, bukan kata-kata yang berbicara, melainkan moncong senjata yang menyalak di tengah kegelapan.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, memberikan perintah yang singkat namun tegas. Ia menyampaikan bahwa dirinya sudah tidak lagi sudi mendengar laporan pembantaian setiap hari di Gaza. “Kirim Kopassus. Jangan pulang sebelum anak-anak itu bisa tidur tanpa takut bom,” ucap Presiden.
Ketika banyak negara besar hanya berteriak lantang tanpa tindakan nyata, Indonesia memilih jalan berbeda. Pasukan khususnya, Komando Pasukan Khusus (Kopassus), ditugaskan melakukan misi kemanusiaan yang berisiko tinggi. Target mereka jelas: menyelamatkan nyawa warga sipil Palestina.
Pasukan berbaret merah itu bergerak melewati lorong-lorong gelap Gaza. Mereka menyusup di antara reruntuhan bangunan yang masih berasap. Dengan senjata yang tersemat di tubuh, napas mereka seirama, bergerak seperti satu kesatuan yang menyatu dengan malam.
Pos militer Israel di pinggiran kota menjadi sasaran pertama. Ledakan granat mengguncang keheningan. Teriakan dalam bahasa Ibrani pecah bersamaan dengan raungan senjata serbu. Dalam sepuluh menit, satu pos Israel berhasil dilumpuhkan. Bendera biru putih yang berkibar di sana terbakar menjadi abu.
Kejutan itu membuat pasukan Israel panik. Mereka yang selama ini merasa kuat dengan dukungan sekutu besar, malam itu terjebak seperti tikus yang kebakaran. Gaza bergetar bukan karena rudal, melainkan karena kedatangan tamu tak diundang yang merobek rasa aman mereka.
Namun, Israel tidak pernah sendiri. Dari balik kegelapan, helikopter Apache milik Amerika Serikat meraung. Lampu sorot menelanjangi reruntuhan, pasukan Amerika turun dengan perlengkapan modern. Wajah mereka penuh percaya diri, terbiasa menindas bangsa lemah tanpa perlawanan berarti.
Seorang perwira Amerika berteriak lantang dengan pengeras suara. “Stand, you are provoking the situation.” Kalimat itu ditujukan kepada pasukan Kopassus yang sudah terkunci dalam pertempuran. Namun jawaban para prajurit Indonesia bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tawa sinis dan moncong senjata yang kembali menyalak.
Kopassus paham betul medan pertempuran urban. Mereka lahir dari pengalaman panjang perang gerilya di hutan-hutan Sumatera hingga Papua. Gaza yang porak-poranda hanyalah medan baru bagi mereka untuk kembali menguji keahlian. Taktik perang kota dijalankan dengan presisi, mengubah keunggulan teknologi musuh menjadi sia-sia.
Helikopter Apache yang berputar di langit Gaza dipaksa mundur oleh tembakan RPG buatan tangan. Pasukan Amerika yang biasanya nyaman dengan peralatan canggih, tiba-tiba kacau balau menghadapi jebakan ranjau, tembakan senyap, dan serangan pisau komando dalam jarak dekat.
Pertempuran semakin sengit. Tentara Amerika menembak membabi buta. Sementara Kopassus dengan disiplin tinggi membalas dengan serangan yang tenang, menghantam musuh satu per satu. Di balik lorong sempit Gaza, peralatan modern kehilangan makna.
Di tengah hiruk pikuk pertempuran, terjadi momen kemanusiaan yang membekas. Seorang prajurit Kopassus menemukan seorang bocah Palestina berlumuran debu di bawah reruntuhan. Peluru drone Amerika menghantam dinding di dekatnya, namun prajurit itu tetap berlari. Ia menggendong bocah itu menuju tempat aman, lalu kembali lagi ke garis depan.
Ironi itu begitu jelas. Tentara asing yang mengaku datang demi menjaga stabilitas justru merenggut nyawa anak-anak. Sebaliknya, tentara dari negeri jauh yang tidak punya kepentingan selain kemanusiaan menjadi tameng terakhir rakyat Palestina. Dunia seolah menertawakan dirinya sendiri dengan humor yang pahit.
Pertempuran berlangsung berjam-jam. Asap, api, dan teriakan bercampur menjadi satu. Namun akhirnya, garis pertahanan gabungan Amerika-Israel mulai runtuh. Puluhan tentara Amerika tergeletak di jalanan Gaza, puluhan lainnya lari terbirit-birit. Pasukan Israel bahkan lebih dulu meninggalkan sekutunya.
Kemenangan malam itu bukan soal angka korban atau keruntuhan pos militer. Kemenangan itu hadir dalam bentuk puluhan warga Palestina yang berhasil diselamatkan dari reruntuhan. Mereka yang sebelumnya hanya bisa menangis di bawah bayang-bayang rudal, kini bisa bernapas lega.
Kopassus menutup operasi tanpa sorak sorai. Tidak ada medali, tidak ada pujian internasional. Hanya ada rasa lega karena mereka berhasil membawa pulang sesuatu yang jauh lebih berharga daripada penghargaan: nyawa-nyawa yang terselamatkan.
Malam di Gaza itu meninggalkan catatan penting. Ketika banyak negara memilih jalan aman, Indonesia melalui pasukan khususnya menunjukkan arti keberanian. Mereka membuktikan bahwa kemanusiaan bukan hanya kata-kata, melainkan tindakan nyata.
Operasi senyap Kopassus di Gaza tidak hanya menyelamatkan warga sipil Palestina, tetapi juga meninggalkan pesan kuat kepada dunia. Pesan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdiri di garis depan ketika keadilan dipertaruhkan. ***
Editor : Rizki