JAKARTA, BERITAKITA || Program besar Koperasi Desa Merah Putih diletakkan pemerintah sebagai upaya mengembalikan orientasi ekonomi nasional menuju prinsip ekonomi Pancasila. Narasi ini mempertemukan dua realitas besar: kekuatan oligarki yang telah lama membentuk struktur ekonomi Indonesia dan kehendak negara untuk menghidupkan kembali koperasi sebagai soko guru ekonomi rakyat. Menteri Koperasi Feri Yuliantono menyebut langkah ini sebagai “gerakan negara untuk mengoreksi arus neoliberal yang sudah terlalu lama mengatur kehidupan ekonomi desa.”
Feri Yuliantono mengikat pandangannya pada acara podcast dikanal youtube @AkbarFaizalUncensored, tentang pengalaman panjangnya sebagai aktivis, tokoh koperasi, dan mantan tahanan politik yang pernah menentang kebijakan kenaikan harga BBM pada masa lalu. Ia mengatakan, “Saya hanya menjalani risiko perjuangan,” ketika mengingat masa pemenjaraannya. Jejak aktivismenya menjadi alasan kuat Presiden Prabowo menunjuknya, karena ia dipandang memahami dunia koperasi dari hulu hingga hilir.
Koperasi Desa Merah Putih diproyeksikan berdiri di lebih dari 80.000 desa dan kelurahan. Masing-masing koperasi menerima dukungan pembentukan badan hukum, pembangunan fisik, serta fasilitas standar retail modern. Pemerintah menempatkan koperasi ini sebagai instrumen distribusi sembako, pusat penyerapan hasil pertanian, dan saluran resmi berbagai program negara seperti bansos dan PKH. Feri menegaskan, “Koperasi harus menjadi badan usaha yang benar-benar dimiliki warga desa, bukan perpanjangan tangan elite.”
Model koperasi desa dirancang sebagai ekosistem lengkap yang menghubungkan produksi, distribusi, hingga logistik. Gudang modern, mesin pengering gabah, fasilitas pendingin hasil pertanian, kendaraan logistik, hingga gerai retail terpadu dibangun untuk memperkuat kemampuan desa. Feri menggambarkannya sebagai “self-propelling growth yang membuat desa kembali memegang kendali atas perputaran uangnya sendiri.”
Seluruh proses perencanaan, pembangunan, dan pengoperasian dilakukan di tingkat desa melalui musyawarah desa khusus. Kepala desa bertindak sebagai pengawas, sementara warga menjadi anggota dan pemilik koperasi. Mekanisme ini dipilih untuk membedakan koperasi desa dari BUMDes, yang secara struktural dimiliki pemerintah desa. Dengan prinsip itu, Feri memastikan, “Koperasi Desa bukan milik pemerintah desa, tetapi milik warganya.”
Pendanaan awal sebesar tiga miliar rupiah per koperasi disalurkan melalui Himbara berdasarkan keputusan bersama beberapa kementerian dan lembaga negara. Seluruh proses pinjaman, operasional, hingga mitigasi risiko diawasi melalui aplikasi Jaga Desa milik Kejaksaan Agung yang telah ditambahkan fitur khusus koperasi. Menurut Feri, “Pengembalian pinjaman wajib dilakukan, dan semua prosesnya dapat dilihat publik.”
Di tengah kekuatan konglomerasi yang selama puluhan tahun menguasai rantai distribusi nasional, pemerintah menempatkan koperasi desa sebagai kendaraan untuk menyeimbangkan kembali struktur ekonomi. Feri menolak anggapan bahwa koperasi harus berhadapan secara frontal dengan korporasi. Ia menyebut langkahnya sebagai “usaha membangun ekosistem yang setara, bukan medan perang antara rakyat dan oligarki.”
Di ruang publik muncul kekhawatiran bahwa program ini bisa menjadi alat politik menjelang 2029. Feri menepis penilaian itu dengan mengatakan, “Saya hanya aparatur ideologis presiden yang menjalankan mandat konstitusi.” Jika koperasi desa berhasil tumbuh, dampaknya akan langsung dirasakan warga: harga stabil, distribusi lebih pendek, dan hasil tani terserap dengan adil. Dalam pandangan narator, keberhasilan program ini dapat menjadi pembuktian bahwa negara mampu kembali memimpin arah ekonomi nasional melalui koperasi sebagai gerakan bersama. ***
Foto Screenshot : @AkbarFaizalUncensored
Editor : Redaksi
Sumber Berita: Rilis