Jakarta, Berita Kita – Fenomena mengkhawatirkan terungkap di Kabupaten Buleleng, Bali, dimana ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) teridentifikasi belum mampu membaca dengan lancar. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan, mengingat kemampuan literasi dasar seharusnya telah dikuasai sejak jenjang Sekolah Dasar (SD).
Ironis, ditengah keterbatasan kemampuan membaca tersebut, para siswa justru menunjukkan kecakapan mengoperasikan gawai dan media sosial. Menanggapi situasi ini, Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna, mendorong adanya pembatasan penggunaan ponsel di lingkungan sekolah.
“Karena ada temuan anak yang tidak bisa menulis, tapi lancar mengetik di HP atau lancar bermedia sosial. Kami tidak menampik adanya teknologi, tapi ini dilakukan agar anak bisa berkonsentrasi dalam menempuh pendidikan,” ujar Supriatna mengutip detikcom, Senin (14/4).
Selain persoalan teknologi, Supriatna juga menyoroti rendahnya motivasi diri dan dukungan keluarga sebagai faktor penghambat. Menurutnya, tanggungjawab pendidikan tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada tenaga pengajar. Peran orangtua dalam pendampingan sangat diperlukan untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual anak.
I Made Sedana, Ketua Dewan Pendidikan Buleleng, memandang fenomena ini sebagai indikator rendahnya tingkat literasi di kalangan pelajar. Ia menyarankan agar Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) melakukan pemetaan komprehensif untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik tiap siswa.
“Apakah berkebutuhan khusus atau bagaimana. Selain itu, pola mengajar guru juga harus dicermati, apakah sistem administrasi menyebabkan guru sibuk dan abai dalam melakukan pengajaran,” ujar Sedana.
Data yang dipaparkan oleh Plt Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, menunjukkan dari total 34.062 siswa SMP di wilayah tersebut, sebanyak 155 siswa termasuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM) dan 208 siswa masuk kategori tidak lancar membaca (TLM).
Analisis Ariadi mengungkapkan beberapa faktor penyebab, antara lain minimnya motivasi belajar, ketidaktuntasan proses pembelajaran, kondisi disleksia, disabilitas, serta kurangnya dukungan lingkungan keluarga. Faktor eksternal seperti dampak berkelanjutan dari pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi dari jenjang SD, interpretasi keliru terhadap kurikulum, kekhawatiran pendidik terhadap konsekuensi hukum dan stigma sosial, hingga dinamika keluarga yang mempengaruhi kondisi psikologis siswa turut berperan dalam permasalahan ini.
“Misalnya siswa memiliki trauma di masa kecil akibat kekerasan rumah tangga, perceraian, atau kehilangan anggota keluarga. Atau korban perundungan,” kata Ariadi. ***
(Redaksi)
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis