Jakarta, BeritaKita — Di tengah upaya pemerintah mewujudkan kemandirian energi nasional, Indonesia masih bergantung pada impor liquefied petroleum gas (LPG) dalam jumlah besar. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kebutuhan LPG nasional mencapai sekitar 8 juta ton per tahun, di mana lebih dari 7,2 juta ton masih diimpor. Rabu. (29/10/2025).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan, tingginya impor LPG bukan karena Indonesia kekurangan cadangan gas bumi, tetapi karena spesifikasi gas alam domestik belum sesuai untuk dijadikan bahan baku LPG.
“Sebagian besar gas kita memiliki komposisi metana yang tinggi, sementara untuk menghasilkan LPG dibutuhkan kandungan propana dan butana (C3 dan C4). Jadi bukan karena tidak ada gas, tapi karena teknologinya belum tersedia,” ujar Bahlil di Jakarta, Senin (28/10).
Indonesia memiliki potensi gas alam yang besar, tersebar dari Kalimantan Timur, Sulawesi, hingga Papua. Namun, potensi ini belum dimanfaatkan optimal akibat minimnya infrastruktur pengolahan gas, seperti fasilitas fraksinasi yang berfungsi memisahkan komponen gas menjadi LPG.
“Kita belum punya cukup fasilitas pengolahan yang bisa memproduksi LPG dari gas domestik. Padahal, jika kita bangun industri itu, bukan hanya impor berkurang, tapi lapangan kerja juga meningkat,” tambahnya.
Untuk mengatasi hal ini, Kementerian ESDM telah menyiapkan rencana percepatan pembangunan fasilitas pengolahan gas berbasis C3 dan C4 di sejumlah wilayah produksi strategis. Proyek ini akan melibatkan kerja sama BUMN energi dan investor swasta, baik nasional maupun asing.
Selain itu, pemerintah juga tengah mendorong transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan. Salah satu langkahnya melalui program konversi LPG ke energi biomassa dan kompor listrik induksi untuk rumah tangga. Program ini diharapkan dapat menekan permintaan LPG sekaligus mendukung target Net Zero Emission 2060.
“Transformasi energi ini memang butuh waktu dan investasi besar. Tapi dengan teknologi yang tepat, Indonesia bisa mandiri energi dan mengurangi emisi karbon,” tegas Bahlil.
Menurut pengamat energi Universitas Indonesia, Ahmad Prabowo, masalah impor LPG juga terkait dengan kebijakan harga dan subsidi energi. Harga LPG bersubsidi yang relatif murah membuat permintaan terus meningkat, sementara produksi domestik tidak seimbang.
“Selama struktur harga belum disesuaikan dan subsidi belum tepat sasaran, impor LPG akan terus tinggi. Reformasi kebijakan energi menjadi kunci,” jelasnya.
Dengan percepatan pembangunan infrastruktur gas dan dukungan pada energi terbarukan, Indonesia berpeluang besar mengurangi ketergantungan impor LPG dan sekaligus meningkatkan ketahanan energi nasional. ***
Penulis : Dadan