Jakarta, Berita Kita – Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri setelah mengunggah meme bergambar Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo yang digambarkan sedang berciuman. Kasus ini menimbulkan kontroversi dan desakan dari berbagai pihak agar proses hukum dihentikan karena dinilai tidak memenuhi unsur pidana.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang diterima polisi pada 24 Maret 2025. Laporan tersebut menyoroti unggahan SSS di platform media sosial X, yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat meme bergambar dua tokoh nasional tersebut. Polisi menindaklanjuti laporan dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada 7 April 2025. Proses penyidikan kemudian dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber dengan memeriksa tiga saksi dan lima ahli, serta menyita sejumlah barang bukti.
SSS ditangkap di Bandung pada 6 Mei 2025 dan ditahan sehari setelahnya. Ia dijerat dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara dan denda hingga Rp12 miliar.
Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, SSS diduga telah menciptakan dan menyebarluaskan dokumen elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan melalui unggahan meme tersebut.
Namun, pada 11 Mei 2025, penahanan SSS resmi ditangguhkan setelah adanya permohonan dari kuasa hukum, orang tua, serta pihak ITB. Kuasa hukum SSS, Khaerudin Hamid Ali Sulaiman, menyampaikan bahwa kliennya menyesali perbuatannya dan telah meminta maaf kepada Presiden Prabowo dan mantan Presiden Jokowi. “Meminta maaf sebesar-besarnya atas klien kami yang mengunggah dan membuat kegaduhan,” ucap Khaerudin di Gedung Bareskrim Polri.
ITB melalui Direktur Komunikasi dan Humas, Nurlaela Arief, menyatakan bahwa kampus akan melanjutkan pembinaan akademik dan karakter terhadap SSS. “ITB berkomitmen untuk mendidik, mendampingi, dan membina mahasiswi tersebut untuk dapat menjadi pribadi dewasa yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi adab dan etika dalam menyampaikan pendapat dan berekspresi,” tulisnya dalam keterangan tertulis.
Salah satu kuasa hukum SSS lainnya, Arip Wampasena, menjelaskan bahwa meme tersebut merupakan ekspresi kritik berbasis seni visual dan tidak bermaksud untuk menghina atau merendahkan martabat pribadi.
Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Teuku Harza Mauludi, menilai meme tersebut adalah bentuk sindiran terhadap kondisi politik Indonesia yang pragmatis. “Bagaimana misalnya dua orang yang dulunya berseberangan, seteru di pilpres, kini bersatu karena ada sesuatu yang sifatnya transaksional,” jelas Harza. Ia menambahkan bahwa meme serupa bukan hal baru di dunia Barat dan telah lama digunakan sebagai medium kritik terhadap para pemimpin negara.
Namun menurut Harza, di Indonesia meme seperti itu kerap disalahpahami karena konteks budaya dan persepsi publik mengenai maskulinitas serta kesusilaan. “Mereka jadi enggak fokus sama kritiknya, malah fokus pada gambarnya,” kata Harza. Padahal menurutnya, esensi meme tersebut adalah kritik terhadap dinamika demokrasi di Indonesia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, M Fatahillah Akbar, menilai tidak ada unsur pelanggaran pidana dalam unggahan SSS. Ia menjelaskan bahwa unsur kesusilaan yang diatur dalam UU ITE merujuk pada tindakan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, atau aktivitas seksual secara eksplisit. “Dalam konteks itu, gambar berciuman tidak bisa dimasukkan dalam ketiganya,” ujarnya.
Akbar juga menyoroti bahwa pasal manipulasi dokumen elektronik tak dapat dikenakan pada meme AI, karena gambar tersebut jelas bukan data autentik yang dimanipulasi. “Dalam konteks meme ini, kan sudah clear bahwa dia menggunakan AI dan orang awam pun tahu gambar itu palsu,” tambahnya.
Senada dengan Akbar, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menyebut kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap ekspresi kritik warga sipil. Ia menyayangkan upaya aparat yang justru menggunakan pasal-pasal lain setelah Mahkamah Konstitusi memperketat penggunaan pasal pencemaran nama baik. “Sekarang polisi memakai pasal baru yang dipaksakan untuk membungkam kritik,” katanya.
Baik Akbar maupun Maidina mendesak agar polisi menghentikan perkara ini sepenuhnya, bukan hanya menangguhkan penahanan. “Kalau ditangguhkan penyidikan tetap berjalan, tapi mudah-mudahan polisi melakukan SP3 karena tidak memenuhi unsur,” ujar Akbar.
Menurut Harza, generasi muda kini memandang kebebasan berekspresi sebagai hak dasar. Karena itu, pejabat publik seharusnya mampu menerima kritik dalam berbagai bentuk, termasuk meme berbasis AI. “Selama Anda pejabat publik, harus sadar bahwa Anda tidak imun terhadap kritik. Kritik ada memang karena jabatan yang Anda ampu,” tutupnya.
Jika ingin saya bantu ubah ke format berita cetak atau online, atau menambahkan infografik poin-poin hukumnya, tinggal beri tahu. ***
(Redaksi)
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis