Surabaya – Di tengah riuh rendah Terminal Bungursari, Surabaya, deru mesin bus dan teriakan kondektur menjadi harmoni khas yang mewarnai hari. Di antara arus penumpang yang datang dan pergi, sosok sederhana bernama Mariyem (55) menjadi pemandangan yang akrab bagi siapa pun yang melintas di sudut terminal itu.
Setiap sore, ketika cahaya matahari mulai redup di ufuk barat, tampak meja kecil di bawah tenda sederhana yang menjadi pusat aktivitasnya. Di atas meja itu tersusun aneka gorengan hangat, sepiring pecel dengan sambal kacang khas Jawa Timur, serta termos berisi air panas untuk menyeduh kopi dan teh.
Mariyem memulai aktivitas dagangnya selepas salat Asar. Dengan senyum ramah, ia melayani pembeli hingga malam menjelang. “Saya mulai jualan habis Asar sampai malam,” ujarnya sambil merapikan tampah berisi tempe goreng. Ia menambahkan, “Kalau penumpang masih ramai, kadang bisa sampai jam sembilan.”
Keringat yang menetes di wajahnya tidak menghapus semangat yang terpancar dari tatapannya. Meski hanya berdagang di sudut terminal, baginya setiap hari adalah perjuangan yang penuh makna.
Sudah dua belas tahun Mariyem menekuni pekerjaannya di tempat ini. Dulu, suaminya seorang sopir bus antarkota. Namun, sejak sakit dan tidak lagi mampu bekerja, beban keluarga beralih ke pundaknya. “Kalau saya berhenti, siapa yang mau biayai anak sekolah?” tuturnya lirih, kemudian menegaskan dengan suara mantap, “Jadi ya, terus saya jalani saja.”
Setiap pagi, dari rumahnya di kawasan Benowo, Mariyem menyiapkan bahan dagangan. Ia mengangkutnya menggunakan motor tua peninggalan suaminya. Meski kendaraan itu sering mogok, ia tetap bersyukur masih bisa digunakan untuk mencari nafkah.
Rezeki yang diperoleh setiap hari tidak menentu, namun ia meyakini bahwa kejujuran adalah kunci kecukupan. “Rezeki itu tidak selalu besar,” ucapnya sambil tersenyum, “tapi kalau kita jujur, pasti cukup.”
Di antara pembeli yang sering mampir, ada Rina (32), penumpang bus tujuan Malang. Ia mengaku selalu menyempatkan diri membeli makanan di tempat Mariyem. “Pecelnya enak dan murah,” ujarnya. Ia lalu menambahkan, “Ibu ini juga ramah banget, nggak pernah marah walau ramai pembeli.”
Sikap santun Mariyem membuat banyak orang merasa nyaman singgah di warung kecilnya. Tak heran jika pembeli datang silih berganti, bukan hanya karena cita rasa makanannya, tetapi juga karena keramahan yang tulus.
Bagi petugas kebersihan terminal, Slamet (45), sosok Mariyem sudah seperti bagian dari keluarga besar di Bungursari. “Bu Mariyem itu orangnya rajin dan sopan,” katanya ketika ditemui di area terminal. Ia menambahkan, “Setiap habis jualan, tempatnya selalu dibersihkan sendiri. Dia contoh pedagang yang disiplin.”
Disiplin dan tanggung jawab menjadi nilai yang dijaga Mariyem dalam kesehariannya. Ia tidak hanya berdagang, tetapi juga memastikan lingkungannya tetap rapi dan nyaman. Hal itu membuatnya disegani oleh sesama pedagang maupun petugas terminal.
Di tengah kerasnya kehidupan kota, keteguhan hati Mariyem menjadi pelajaran berharga tentang arti kerja keras. Ia tak pernah mengeluh meski cuaca panas, hujan, atau sepi pembeli. “Kalau capek pasti,” ucapnya jujur sambil menyeka keringat, “tapi kalau ingat anak di rumah, semangat datang lagi.”
Anaknya yang masih duduk di bangku SMA menjadi sumber kekuatan terbesar baginya. Setiap rupiah hasil jualan ia sisihkan untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Meski penghasilannya sederhana, ia yakin pendidikan anaknya kelak akan mengubah nasib keluarga.
Bagi para penumpang, kehadiran Mariyem bukan sekadar pelengkap suasana terminal. Ia adalah simbol ketulusan dan kerja keras yang hidup di antara hiruk pikuk perjalanan manusia. Setiap senyumnya menyimpan kehangatan, dan setiap piring pecelnya menghadirkan rasa syukur.
Di sela-sela kesibukan, Mariyem selalu sempat bertegur sapa dengan sopir, kondektur, hingga petugas terminal. Ia meyakini bahwa hubungan baik dengan sesama adalah bentuk sedekah yang tidak ternilai.
Sore itu, ketika matahari hampir tenggelam, aroma sambal kacang dan gorengan panas memenuhi udara. Mariyem menata kembali dagangannya, memastikan semuanya rapi sebelum pembeli berikutnya datang. Ia melayani dengan sabar, seolah setiap pelanggan adalah tamu kehormatan.
Terminal Bungursari mungkin hanyalah tempat persinggahan bagi banyak orang, namun bagi Mariyem, tempat itu adalah saksi perjuangan hidupnya. Dari sudut kecil yang berdebu dan bising, ia menanamkan nilai keteguhan dan keikhlasan melalui setiap langkahnya.
Tidak ada keluhan dalam suaranya, hanya doa dan harapan akan hari esok yang lebih baik. Dalam setiap gelas teh manis yang ia tuangkan, terselip semangat untuk terus bertahan di tengah kerasnya hidup.
Mariyem bukan sekadar penjual pecel, melainkan sosok yang mengajarkan bahwa ketulusan tidak perlu panggung besar. Dari meja kecil di terminal, ia menebar makna kehidupan yang sederhana namun mendalam.
Dari sudut Bungursari yang ramai, kisah Mariyem menjadi cermin bagi banyak orang. Ia menunjukkan bahwa keteguhan dan keikhlasan bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tengah kebisingan dan debu terminal yang tak pernah tidur. ***
Penulis : Dadan