Jakarta, BeritaKita—–Setiap tanggal 30 September, bangsa Indonesia kembali diingatkan pada sebuah peristiwa kelam: Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G30S/PKI. Peristiwa itu menorehkan luka sejarah yang mendalam, dengan jatuhnya korban jiwa dari kalangan perwira tinggi militer hingga masyarakat sipil. Pertanyaannya, masih relevankah bangsa ini memperingati tragedi tersebut di era sekarang?
Pentingnya Mengingat Sejarah
Bagi sebagian kalangan, memperingati G30S/PKI tetap relevan karena menjadi pengingat bahaya perpecahan bangsa akibat pertarungan ideologi. Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Prof. Asvi Warman Adam, menegaskan bahwa peringatan ini semestinya dijadikan bahan refleksi, bukan sekadar propaganda. “Sejarah G30S perlu dihadirkan dengan data yang objektif agar generasi muda memahami peristiwa tersebut secara kritis,” ujarnya.
Narasi Tunggal dan Tantangan Baru
Di sisi lain, peringatan ini sering dipandang tidak lagi relevan jika hanya mengekalkan narasi tunggal yang diwariskan rezim Orde Baru. Menurut sejarawan LIPI, Dr. Baskara T. Wardaya, selama ini peringatan G30S/PKI cenderung menekankan satu versi cerita dan menutup ruang dialog. “Generasi muda justru butuh melihat sejarah dari berbagai perspektif agar tidak terjebak pada stigma atau kebencian,” jelasnya.
Relevansi di Masa Kini
Dalam konteks global, ancaman komunisme tidak lagi menjadi isu besar di Indonesia. Namun, pengajar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Prof. Purwo Santoso, menekankan bahwa peringatan G30S tetap relevan bila diarahkan untuk mengingatkan bahaya ekstremisme dalam bentuk apa pun. “Pelajaran penting dari G30S bukan hanya soal komunisme, tetapi juga soal bagaimana kekerasan politik dan ambisi kekuasaan bisa merusak kehidupan bangsa,” katanya.
Refleksi untuk Generasi Muda
Karena itu, alih-alih memperingati sekadar dengan cara lama, peringatan G30S bisa dimaknai sebagai sarana rekonsiliasi nasional. Generasi muda perlu diajak memahami bahwa sejarah bangsa bukan hanya hitam-putih, melainkan penuh dinamika. Dengan begitu, tragedi kelam ini menjadi pelajaran berharga untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih demokratis, inklusif, dan bebas dari kekerasan politik. ***
(Dari berbagai sumber)
Penulis : Imam Setiadi MDI