Indramayu, BeritaKita — Kampus peradaban Al-Zaytun diselimuti geliat aktivitas. Ribuan langkah kaki bergerak serentak menuju Masjid Rahmatan lil Alamin, syahdu mengikuti kuliah umum pekanan. Agenda rutin dalam pelatihan pelaku didik berkelanjutan di Al-Zaytun ini, menurut Drs. Purnomo, M.Pd., telah memasuki edisi ketujuh. Tema yang diusung begitu relevan dengan tantangan zaman: “Transformasi Bimbingan Konseling dalam Mewujudkan Pendidikan Berkualitas.” Sebuah penjabaran dari konsep LSTEAM yang digagas oleh Syaykh Al-Zaytun, jelas Purnomo. Mengupas tuntas tema ini adalah pakar terkemuka, Prof. Dr. H. Uman Suherman, AS, M.Pd. AHRA, Guru Besar Bimbingan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, pada Minggu, (13/7/2025).
Pendidikan Sebagai Ikhtiar Memanusiakan Manusia
“Mendidik berarti menjadikan anak didik sebagai insan yang bermartabat, beradab, taat pada norma, serta memiliki kesadaran spiritual yang utuh.” Pernyataan fundamental ini mengalir deras dari refleksi mendalam Prof. Uman Suherman. Beliau menegaskan, pendidikan bukanlah sekadar proses transfer ilmu, melainkan sebuah jalan memanusiakan manusia untuk menjadi manusia sejati.
Dalam pandangan beliau, proses pendidikan harus berlangsung secara manusiawi dan normatif. Guru tak hanya berperan mentransfer pengetahuan; lebih dari itu, mereka adalah teladan perilaku. Kejujuran, kedisiplinan, kesantunan, dan integritas tak cukup hanya diajarkan, melainkan harus diwujudkan dalam keseharian pendidik. Sebab, murid tak hanya paham lewat nasihat, melainkan menyaksikan langsung bagaimana nilai-nilai luhur itu terinternalisasi. Ironisnya, pendidikan kerap gagal saat guru menuntut anak didik menjadi hebat tanpa menampilkan keteladanan. Guru yang menuntut siswa datang pagi namun ia sendiri terlambat, akan meruntuhkan pesan moral yang hendak disampaikan. Pendidikan sejati menuntut keteladanan; sebagaimana adagium Jawa menyebut, ing ngarso sung tuladho, di depan memberi contoh.
Kekuatan Ekosistem: Orang Tua, Guru, dan Anak dalam Ijab Kabul Pendidikan
Pendidikan yang berhasil tak lahir dari satu arah saja. Prof. Uman mengingatkan bahwa mendidik anak bukanlah tugas guru semata, melainkan tanggung jawab semua orang dewasa. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem pendidikan yang sehat, harmonis, dan saling mendukung.
Dia mengangkat contoh unik tentang “ijab kabul pendidikan” yang seyogyanya terjadi di pesantren. Orang tua menyerahkan anaknya kepada guru atau kiai dengan doa dan harapan agar menjadi anak saleh. Guru menerima amanah ini dengan tanggung jawab penuh. Namun, yang lebih penting lagi, sang anak juga harus siap. Anak perlu menyatakan sendiri tekadnya: siap dididik untuk menjadi insan bertakwa.
Dalam ekosistem semacam ini, tidak ada saling menyalahkan. Ketika seorang anak sukses, itu buah dari sinergi guru, orang tua, dan kesiapan diri anak. Begitu pula jika terjadi kegagalan, bukan untuk saling tuding, melainkan bersama-sama mencari jalan keluar. Tak hanya itu, Prof. Uman menekankan pentingnya kolaborasi. Dalam konteks L-STEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics) misalnya, beliau menempatkan “Law” (hukum) di depan. Karena semua proses pendidikan perlu dilandasi penghormatan pada hukum dan hak-hak orang lain. Hanya dengan kesadaran hukum dan etika, proses belajar tak berhenti pada capaian akademik, tapi juga memupuk rasa tanggung jawab sosial.
Boarding School: Laboratorium Kehidupan Seutuhnya
Dalam konteks sekolah berasrama seperti Al-Zaytun, pendidikan berjalan sebagai laboratorium kehidupan penuh. Bukan hanya full day school, tapi full life school. Di sini, anak-anak belajar hidup dalam keberagaman, memahami hormat kepada yang lebih tua, kasih kepada yang lebih muda, dan cinta kepada sesama.
Prof. Uman menyinggung konsep cageur, bageur, bener, pinter, singer, ulah kabalinger. Dalam budaya Sunda, seorang anak dididik pertama-tama harus cageur (sehat), lalu bageur (baik), setelah itu bener (taat hukum), baru kemudian pinter (cerdas), lalu singer (lincah/cepat tanggap), dan jangan sampai kabalinger (tersesat). Ini adalah filosofi pendidikan integral yang menekankan kesehatan fisik, moral, intelektual, emosional, dan sosial sekaligus.
Dalam keseharian di pesantren, guru dan seluruh tenaga pendidik—mulai satpam, tata usaha, hingga pimpinan—turut memberi warna. Setiap senyum, sapaan ramah, hingga bagaimana mereka berpakaian dan bersikap, semua adalah kurikulum hidup yang dilihat langsung oleh santri. Sebab, pendidikan tak hanya terjadi di kelas. Setiap interaksi adalah pelajaran. Setiap perilaku adalah teladan.
Mewujudkan Generasi Berkarakter Lewat Bimbingan yang Terencana
Pendidikan bukan sekadar proses alamiah. Ia mesti menjadi usaha sadar, terencana, dan sistematis. Dalam kerangka inilah bimbingan dan konseling (BK) hadir bukan hanya untuk siswa bermasalah, tapi untuk semua anak, guna mengoptimalkan potensinya.
Prof. Uman menekankan lima pilar layanan BK: membantu siswa memahami diri dan lingkungannya, mengarahkan diri, melakukan penyesuaian, mengembangkan diri, serta menangani kasus melalui konseling. Ini semua untuk memastikan anak-anak tidak hanya cerdas akademik, tetapi juga bahagia, percaya diri, dan siap menghadapi realitas hidup.
Beliau menambahkan, jangan sampai sekolah kalah oleh pegadaian. Pegadaian saja punya slogan: “Menyelesaikan masalah tanpa masalah.” Maka lembaga pendidikan seharusnya jauh lebih mampu, menyelesaikan masalah siswa tanpa menimbulkan masalah baru.
Epilog: Membina Generasi yang Lebih Baik dari Kita
Pada akhirnya, tujuan pendidikan adalah melahirkan generasi yang lebih baik dari kita. Guru tak boleh cemburu jika muridnya kelak lebih sukses. Sebaliknya, itu justru puncak keberhasilan seorang pendidik: mengantar anak didik melampaui dirinya.
Prof. Uman mengajak semua pelaku didik, guru, orang tua, hingga pimpinan lembaga untuk bersyukur jika anak-anak kita melesat tinggi. Ia berpesan, jangan pernah remehkan pentingnya cinta dan doa orang tua, ketulusan guru, serta kesiapan anak untuk belajar.
Semoga dari ekosistem pendidikan seperti ini lahir generasi Indonesia yang beriman, berilmu, berakhlak mulia, berwawasan global, namun tetap membumi dalam kearifan lokal. Generasi emas yang kelak akan menoreh sejarah, membawa bangsa ini menjadi rahmat bagi semesta. Sebuah impian yang tak mustahil, jika setiap kita, dalam peran sekecil apa pun, senantiasa berikhtiar memanusiakan manusia. ***
(Ali Aminulloh)