Jakarta, Berita Kita – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengumumkan rencana untuk menaikkan gaji para hakim di Indonesia, dengan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp 12 triliun. Langkah ini patut diapresiasi, terutama jika tujuannya adalah untuk meningkatkan integritas dan independensi hakim dalam menjalankan tugasnya.
Namun, muncul pertanyaan besar: apakah kenaikan gaji saja sudah cukup untuk mewujudkan keadilan dan menghapuskan praktik korupsi di tubuh peradilan? ataukah langkah ini hanya akan menjadi kosmetik semata tanpa perubahan signifikan dalam sistem?
Masih Banyak Tantangan
Fakta menunjukkan bahwa banyak hakim yang sudah bergaji tinggi masih tergoda untuk menerima suap. Kasus terbaru, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta ditangkap dan disangka menerima suap Rp 60 miliar. Kejaksaan Agung juga telah menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Studi ICW beberapa tahun lalu juga menunjukkan bahwa korupsi peradilan seringkali melibatkan hakim tingkat banding dan kasasi yang gajinya relatif lebih besar dibanding hakim di tingkat pertama. Ini menunjukkan bahwa persoalan integritas hakim jauh lebih kompleks daripada sekadar gaji.
Reformasi Peradilan yang Lebih Luas
Jika Presiden Prabowo serius ingin menjadikan peradilan sebagai benteng demokrasi, maka gaji hakim hanyalah salah satu bagian kecil dari mozaik besar yang disebut reformasi peradilan. Reformasi itu harus menyentuh akar, seperti:
Independensi Kelembagaan: Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus memiliki independensi yang lebih besar dalam menjalankan tugasnya.
Integritas Aparat: Proses rekrutmen, pendidikan berkelanjutan, supervisi yang ketat, dan pengawasan etik yang transparan harus ditingkatkan.
Transparansi Putusan: Putusan hakim harus lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keterbukaan dalam Sistem Pengawasan: Sistem pengawasan harus lebih terbuka dan efektif dalam menangani pelanggaran etik.
Dengan demikian, kenaikan gaji hakim harus diiringi dengan pembaruan sistem seleksi, evaluasi kinerja, serta penguatan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam aspek etik dan transparansi.
Pertanyaan Besar
Apa yang rakyat dapatkan dari investasi Rp 12 triliun ini? Apakah ke depan hakim akan lebih berpihak pada korban kekerasan seksual? Apakah vonis-vonis diskriminatif terhadap masyarakat adat, kelompok minoritas, dan pembela HAM akan berkurang? Jika jawabannya tidak, maka rencana ini akan dicatat sebagai satu lagi proyek politik yang kehilangan arah. Keadilan memang mahal, tapi kemunafikan jauh lebih mahal. ***
(Redaksi)
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis