Indramayu, BeritaKita–Workshop yang digelar Direktorat Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) pada 7–9 Juli 2025, dinamika perubahan tampak begitu terasa. Salah satu tim kerja—Tim Kontekstualisasi Pemberdayaan Pendidikan Non Formal—menjadi arena perumusan ulang strategi besar pendidikan non formal. Dipimpin oleh Sumiyati dari Timker PNFI, tim ini diikuti oleh perwakilan dari berbagai lembaga termasuk Ali Aminulloh dari PKBM Al-Zaytun.
Sesi pembuka menghadirkan Monika Ariyati dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah (BAN-PDM) yang membongkar tantangan akreditasi terkini. Dari 12.926 lembaga kesetaraan di Indonesia, baru 63% yang terakreditasi. Kini, akreditasi tidak lagi menyasar lembaga sebagai satu kesatuan, melainkan setiap satuan pendidikan secara mandiri—membuka kemungkinan bahwa antara Paket A, B, dan C dalam satu lembaga memiliki status akreditasi berbeda.
Yang terpenting, paradigma penilaian pun telah bergeser. Akreditasi kini mengukur performa kinerja secara komprehensif dengan empat komponen: iklim lingkungan belajar, kepemimpinan dan tata kelola, performa pendidik, serta capaian belajar warga didik. Pendekatan ini mendorong lembaga non formal untuk lebih adaptif dan akuntabel secara sistemik.
Menghidupkan Kurikulum: Menanam Jiwa Mandiri dalam Kesetaraan
Hari kedua menghadirkan Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) yang diwakili oleh M. Yusri Saad dan Neneng Kadariah. Paparan mereka menegaskan esensi kurikulum pendidikan non formal sebagai ruang pembelajaran yang tidak hanya informatif, tetapi transformatif. Sebanyak 70% kurikulum difokuskan pada pelajaran umum, dan 30% sisanya diisi dengan muatan keterampilan: dari vokasional hingga kepemimpinan pribadi. Tujuannya bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi pembentukan karakter dengan indikator seperti kesadaran diri, harga diri, hingga kemampuan mengambil keputusan.
Satuan Kredit Kompetensi (SKK) menjadi instrumen utama pengukur capaian—yang dapat ditempuh melalui beragam pendekatan: tatap muka, tutorial, dan pembelajaran mandiri. Fleksibilitas inilah yang menjadi kekuatan PNFI, memungkinkan pendidikan menjangkau mereka yang berada di pinggiran sistem formal.
Revitalisasi dan Akses: Merangkul Mereka yang Tersisih
Staf Ahli PNFI, Fazhar, menyoroti urgensi transformasi sistem pendidikan non formal. Dengan 4,2 juta Anak Tidak Sekolah (ATS) pada tahun 2023, pendidikan non formal memikul tanggung jawab strategis. Sifatnya yang inklusif dan fleksibel menjadikannya jalan tengah yang rasional dan transformatif.
Namun tantangan terbesar bukan semata menjaring ATS, melainkan memastikan lulusan pendidikan non formal memiliki kesetaraan kualitas dengan pendidikan formal. Inilah yang melahirkan kebutuhan mendesak akan sistem penjaminan mutu, peningkatan kapasitas tutor, dan dukungan kebijakan agar visi Wajib Belajar 13 Tahun dapat diwujudkan dengan nyata.
Digitalisasi Cerdas: Saat Rumah Pendidikan Menjadi Ekosistem Terpadu
Era digital tak luput dari perhatian forum. Hendra dari Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) memperkenalkan “Rumah Pendidikan”—sebuah superaplikasi yang mengintegrasikan layanan Kemendikdikdasmen dalam satu ekosistem digital. Dari ruang murid hingga ruang publik, infrastruktur ini dirancang untuk efisiensi layanan, keterjangkauan, serta partisipasi lintas pemangku kepentingan.
Sementara itu, Ihsan Fauzi dari SEAMOLEC menghidupkan kembali diskursus seputar platform SETARA Daring, yang sempat digunakan saat pandemi COVID-19. Meski kini redup, nyatanya kebutuhan model pembelajaran daring masih tinggi di lapangan. Tantangan ke depan: membangun sistem pembelajaran daring yang valid, akuntabel, dan mampu diakui setara oleh publik dan pemerintah.
Epilog: Membingkai Harapan di Jalan Sunyi Pendidikan Alternatif
Diskusi ditutup dengan perumusan konkrit oleh Tim Pemberdayaan di bawah koordinasi Sumiyati. Lahir tiga rumusan strategis: modul pemberdayaan, kajian pamong dan tutor, serta tata kelola pembelajaran kesetaraan. Ketiganya akan dijadikan dokumen kebijakan yang akan menyentuh seluruh penyelenggara pendidikan non formal di Indonesia.
Apa yang terjadi dalam forum ini bukan hanya tentang rumusan teknis atau analisis kebijakan. Ini adalah bentuk cinta yang tenang namun kokoh terhadap setiap anak yang sempat terlewatkan oleh sistem. Sebuah langkah kecil namun berarti dalam menyulam ruang-ruang harapan bagi jutaan anak Indonesia untuk kembali bermimpi.
Jika pendidikan formal adalah jalan raya, maka pendidikan non formal adalah jembatan. Dan dalam setiap jembatan, ada harapan yang tidak boleh runtuh. ***
Penulis : Ali Aminulloh