Bekasi, BeritaKita — Ikan hiu selama ini dikenal sebagai predator ganas di lautan. Namun, di beberapa wilayah, hiu juga menjadi komoditas kuliner yang dianggap eksotis, bahkan mewah. Meskipun tampak menggugah selera, para ilmuwan dan tokoh agama justru memberikan peringatan keras terhadap konsumsi daging hiu. Lalu, apa sebenarnya yang membuat daging hiu dianggap berbahaya bagi kesehatan?
Kandungan Merkuri: Ancaman Nyata dari Lautan
Salah satu alasan utama di balik larangan konsumsi daging hiu adalah tingginya kandungan merkuri, terutama jenis metil merkuri, dalam jaringan tubuhnya. Merkuri ini berasal dari limbah industri yang mencemari laut. Setelah masuk ke dalam ekosistem laut, logam berat ini diserap oleh plankton, lalu dimakan oleh ikan kecil, dan terus naik dalam rantai makanan hingga akhirnya terakumulasi dalam tubuh hiu—yang merupakan predator puncak.
Proses akumulasi ini dikenal sebagai biomagnifikasi, yakni peningkatan konsentrasi zat berbahaya di setiap tingkatan rantai makanan. Akibatnya, hiu memiliki kadar merkuri yang jauh lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan lain.
“Logam berat seperti merkuri dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sistem saraf manusia, terutama jika dikonsumsi secara terus-menerus,” jelas Dr. Ardiansyah Putra, ahli toksikologi dari Universitas Indonesia.
Kelompok Rentan: Siapa yang Paling Berisiko?
Daging hiu mengandung metil merkuri dalam konsentrasi yang dapat melebihi ambang batas aman konsumsi harian. Kelompok paling rentan terhadap efek buruk zat ini adalah:
Ibu hamil dan menyusui: Merkuri dapat berpindah melalui plasenta atau ASI, mengganggu perkembangan otak janin dan bayi.
Anak-anak: Paparan merkuri pada usia dini bisa mengganggu fungsi kognitif dan pertumbuhan sistem saraf.
Orang dengan gangguan ginjal atau saraf: Merkuri bisa memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada.
Perspektif Agama dan Etika
Tak hanya dari sisi kesehatan, konsumsi daging hiu juga dipertanyakan dari sudut pandang agama dan etika. Beberapa ulama menyarankan untuk menghindari konsumsi hewan yang membahayakan kesehatan manusia. Di sisi lain, aktivis lingkungan menyoroti praktik penangkapan hiu yang tidak berkelanjutan—seperti finning, yaitu memotong sirip hiu dan membuang tubuhnya ke laut—yang sangat tidak etis dan merusak populasi hiu global.
Alternatif Konsumsi yang Lebih Aman
Sebagai gantinya, masyarakat dianjurkan untuk mengonsumsi ikan laut yang lebih kecil dan rendah merkuri, seperti sarden, teri, atau kembung. Selain lebih aman, ikan-ikan ini juga lebih mudah didapat dan harganya lebih terjangkau.
Mengonsumsi hiu bukan hanya soal selera atau status sosial. Ini adalah keputusan yang berdampak pada kesehatan pribadi, kelestarian lingkungan, dan keberlangsungan ekosistem laut. Edukasi tentang bahaya konsumsi daging hiu perlu terus digalakkan agar masyarakat lebih bijak dalam memilih makanan laut. Sebab, menjaga kesehatan dan lingkungan h tanggung jawab bersama. ***
Penulis : Dadan Sauman