Menimbang Warisan Soeharto: Antara Citra Otoriter dan Gelar Pahlawan Nasional

- Redaksi

Selasa, 4 November 2025 - 00:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta, BeritaKita—Nama Soeharto tidak pernah benar-benar sirna dari benak bangsa Indonesia. Dalam setiap bab sejarah negeri ini, sosoknya selalu hadir sebagai figur yang memantik perdebatan. Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai Bapak Pembangunan, tokoh yang membawa Indonesia ke era kemajuan dan stabilitas. Namun, tidak sedikit pula yang mengingatnya sebagai simbol kekuasaan otoriter yang membatasi kebebasan rakyat. Terlepas dari pro dan kontra itu, Soeharto tetap menjadi bagian penting dari perjalanan panjang Republik ini.

 

Pada masa pemerintahannya yang dimulai tahun 1966 hingga 1998, Soeharto dikenal sebagai pemimpin yang menekankan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Di bawah kendalinya, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan, terutama beras, yang kala itu menjadi kebanggaan nasional. Program pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, sekolah, dan irigasi digalakkan hingga ke pelosok desa. Kebijakan ekonomi yang terarah membawa pertumbuhan yang signifikan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat.

 

Sejarawan dan ekonom menilai, keberhasilan pembangunan era Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari strategi sentralisasi kekuasaan yang diterapkan oleh Soeharto. Langkah itu membuat roda pemerintahan berjalan efisien, meski pada sisi lain menimbulkan ruang yang sempit bagi demokrasi. Salah satu pengamat politik mengatakan, “Soeharto adalah pemimpin yang memahami prioritas bangsa pada masanya, yakni kestabilan dan pembangunan.” Pandangan ini menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan tidak terwujud tanpa kendali kuat dari seorang pemimpin yang tegas.

Baca Juga :  Kartini: Pelopor Emansipasi Perempuan dan Reformasi Dunia Pendidikan

 

Namun, di balik gemerlap pencapaian itu, tersimpan catatan kelam yang sulit dihapus. Masa Orde Baru diwarnai dengan praktik pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman kebebasan pers, serta penindasan terhadap oposisi politik. Banyak aktivis dan tokoh masyarakat menjadi korban kebijakan represif demi menjaga citra stabilitas nasional. Luka sejarah itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warisan kepemimpinan Soeharto.

 

Dalam konteks itulah, perdebatan mengenai pengusulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mencuat. Wacana tersebut menimbulkan reaksi beragam di kalangan masyarakat, akademisi, hingga elite politik. Sebagian menilai pengakuan itu sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa besar yang telah diberikan. Sementara pihak lain menegaskan bahwa luka sejarah dan pelanggaran kemanusiaan tidak bisa diabaikan hanya demi penghargaan simbolik.

 

Pemerhati sejarah menuturkan bahwa bangsa Indonesia perlu menilai masa lalu dengan kacamata yang utuh, bukan sepotong-sepotong. “Menutup mata terhadap jasa Soeharto sama saja mengingkari perjalanan bangsa sendiri,” ujarnya. Pandangan ini mengajak publik untuk menilai sejarah secara objektif, tanpa terjebak dalam sentimen politik dan dendam masa lalu.

 

Faktanya, banyak pembangunan yang berdiri kokoh hingga hari ini masih merupakan warisan kebijakan Orde Baru. Sistem irigasi pertanian, program transmigrasi, hingga pembangunan kawasan industri menjadi bukti nyata peran besar Soeharto dalam membentuk fondasi ekonomi nasional. Generasi muda yang kini menikmati fasilitas itu perlu memahami konteks sejarahnya secara jernih dan berimbang.

Baca Juga :  Rustam Fachri Mandayun: Teguh Menjaga Marwah Jurnalisme Indonesia

 

Meski begitu, pengakuan terhadap jasa tidak berarti meniadakan kesalahan. Negara tetap memiliki tanggung jawab moral untuk mengakui dan memulihkan luka-luka sosial akibat kebijakan represif masa lalu. Sejarah yang adil bukanlah sejarah yang menutup mata pada kesalahan, tetapi yang berani menempatkan semua fakta pada porsinya.

 

Soeharto sendiri telah tiada sejak 27 Januari 2008, meninggalkan warisan besar sekaligus kontroversi mendalam. Ia tidak lagi haus akan kekuasaan atau gelar kehormatan. Yang tersisa hanyalah kebutuhan akan pengakuan yang adil dari bangsa yang pernah ia pimpin. Pengakuan bahwa dirinya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pernah menjadi pilar penting dalam perjalanan pembangunan negeri ini.

 

Kini, ketika bangsa Indonesia semakin dewasa dalam menafsirkan sejarahnya, sudah saatnya warisan Soeharto ditempatkan secara proporsional. Ia bukan sosok sempurna, namun juga bukan sekadar penguasa penuh dosa. Dalam denyut pembangunan yang masih terasa hingga kini, nama Soeharto tetap hidup sebagai cermin: bahwa kemajuan dan kekuasaan selalu menuntut kebijaksanaan dalam menyeimbangkan terang dan gelap sejarah bangsa.  ***

 

 

Editor : Redaksi

Berita Terkait

Rustam Fachri Mandayun: Teguh Menjaga Marwah Jurnalisme Indonesia
Dari Pedagang ke Pewarta: Sarwono Menemukan Panggilan Hidup di Dunia Jurnalistik
Kartini: Pelopor Emansipasi Perempuan dan Reformasi Dunia Pendidikan
Berita ini 64 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 4 November 2025 - 00:48 WIB

Menimbang Warisan Soeharto: Antara Citra Otoriter dan Gelar Pahlawan Nasional

Senin, 6 Oktober 2025 - 12:34 WIB

Rustam Fachri Mandayun: Teguh Menjaga Marwah Jurnalisme Indonesia

Jumat, 8 Agustus 2025 - 04:41 WIB

Dari Pedagang ke Pewarta: Sarwono Menemukan Panggilan Hidup di Dunia Jurnalistik

Minggu, 20 April 2025 - 07:08 WIB

Kartini: Pelopor Emansipasi Perempuan dan Reformasi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru

Kenali gejala diabetes

Nenavin memiliki kandungan senyawa aktif yang bermanfaat bagi penderita diabetes