Jakarta, Berita Kita – Konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel kini mengancam stabilitas industri manufaktur Indonesia, mendorong Kementerian Perindustrian mengeluarkan peringatan serius kepada seluruh pelaku industri nasional untuk segera melakukan langkah-langkah mitigasi komprehensif.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah berpotensi mengguncang fondasi industri dalam negeri, terutama terkait ketergantungan kritis terhadap energi impor yang menjadi tulang punggung operasional manufaktur nasional.
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan di Jakarta pada hari Rabu, Menperin menguraikan tiga ancaman utama yang mengintai industri nasional akibat konflik geopolitik tersebut. Pertama, gangguan serius pada rantai pasok global yang dapat melumpuhkan distribusi bahan baku industri karena jalur logistik strategis melewati zona konflik Timur Tengah.
Kedua, gejolak nilai tukar mata uang yang dapat memicu inflasi drastis pada harga input produksi dan berujung pada penurunan daya saing ekspor produk Indonesia di pasar internasional. Ketiga, ketidakstabilan pasokan energi yang dapat menghentikan roda produksi berbagai sektor manufaktur.
“Energi bagi industri merupakan elemen vital yang tidak hanya berperan sebagai sumber tenaga produksi, tetapi juga sebagai bahan baku fundamental dalam proses manufaktur,” tegas Agus Gumiwang Kartasasmita.
Menperin mendesak seluruh pelaku industri untuk segera mengimplementasikan strategi efisiensi energi yang lebih agresif dalam proses produksi mereka. Langkah ini dinilai krusial untuk meningkatkan produktivitas sekaligus memperkuat daya saing produk industri di tengah ketidakpastian global.
“Industri dalam negeri harus lebih efisien dalam penggunaan energi selama proses produksi. Efisiensi energi dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri, sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo,” ungkap Menperin.
Kementerian Perindustrian tidak hanya mendorong efisiensi, tetapi juga menekankan urgensi diversifikasi sumber energi sebagai strategi jangka panjang. Ketergantungan berlebihan pada energi fosil impor, khususnya dari kawasan Timur Tengah yang tengah bergejolak, dinilai semakin berisiko tinggi di tengah konflik geopolitik yang tidak menentu.
Sebagai respons strategis, Kemenperin mengintensifkan dorongan kepada sektor manufaktur untuk menghasilkan produk-produk pendukung program ketahanan energi nasional, termasuk mesin pembangkit listrik, infrastruktur energi, dan komponen teknologi energi terbarukan.
Di sektor pangan, Menperin menyoroti hilirisasi produk agro sebagai solusi strategis menghadapi dampak tidak langsung konflik Iran-Israel terhadap perekonomian global. Konflik tersebut telah memicu lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan menciptakan gejolak nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
“Ketiga faktor ini—logistik, inflasi, dan nilai tukar—secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Solusinya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran aktif dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor,” jelas Menperin dengan tegas.
Agus menegaskan bahwa industri manufaktur nasional tidak hanya akan difokuskan pada hilirisasi sektor agro untuk menghasilkan produk pangan, tetapi juga diarahkan untuk berperan aktif dalam berinovasi menemukan teknologi produksi pangan yang lebih efisien sehingga dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi di dalam negeri.
Program hilirisasi produk agro untuk mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan telah menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dan industri manufaktur diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam mewujudkan tujuan strategis tersebut.
Sebagai langkah konkret menghadapi tekanan inflasi input produksi, Menperin mengimbau industri dalam negeri untuk memanfaatkan secara optimal fasilitas Local Currency Settlement (LCS) yang disediakan Bank Indonesia. Fasilitas ini dapat membantu industri mengantisipasi dampak konflik Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar rupiah, terutama dalam transaksi dengan negara-negara yang telah menandatangani perjanjian LCS dengan Indonesia.
Peringatan Menperin ini muncul di tengah kekhawatiran global akan dampak jangka panjang konflik Timur Tengah terhadap stabilitas ekonomi dunia, khususnya negara-negara yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor energi dan bahan baku dari kawasan tersebut. ***
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis