Indramayu, BeritaKita–Menyiapkan Generasi Emas Melalui Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan
Hari Ahad biasanya dimaknai sebagai waktu beristirahat dari penatnya rutinitas. Namun, di Mahad Al-Zaytun, makna itu diubah total: Ahad menjadi momen pencerdasan, hari pembentukan peradaban, saat dimana ribuan elemen pendidikan bersatu dalam forum ilmiah yang membangun nalar, karakter, dan kebangsaan.
Sejak 1 Juni 2025, Al-Zaytun menginisiasi Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan, sebuah langkah strategis menuju Indonesia Raya 1000 Tahun ke Depan, yang berpijak pada semangat Remontada from Within kebangkitan dari dalam.
Sesi kedelapan pelatihan ini menghadirkan Prof. Dr. Hamja, S.H., M.H., dari Universitas Wiralodra Indramayu, yang menyoroti pentingnya filsafat dan kebiasaan membaca sebagai fondasi pendidikan berasrama yang berkelanjutan.
Acara diawali secara khidmat dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” tiga stanza, diikuti sambutan Ustadz Imam Muhajir Rahman, S.T., yang menegaskan komitmen Al-Zaytun sebagai pelopor transformasi pendidikan modern berbasis asrama.
Visi besar mewujudkan Indonesia Unggul di Abad ke-21 dan menyongsong 100 Tahun Kemerdekaan menjadi landasan program ini. Dengan melibatkan 2.766 peserta dari dosen, mahasiswa, guru, petani, hingga tenaga pendukung pelatihan ini bukan hanya formalitas, melainkan manifes revolusi pendidikan yang menembus batas-batas konvensional.
Dalam paradigma baru yang disebut Novum Gradum, Al-Zaytun mengintegrasikan dimensi hukum, sains, teknologi, rekayasa, seni, dan matematika (L-STEAM) dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Dimensi hukum menjadi pilar utama, bukan semata regulasi, tetapi sebagai wahana internalisasi moral, etika, dan kesadaran kolektif. Di sinilah kehadiran Prof. Hamja menjadi penguat ideologis sekaligus reflektif: bahwa membaca bukan sekadar aktivitas, tapi laku spiritual dan intelektual untuk membentuk peradaban yang adil dan tercerahkan.
Filsafat Sebagai Jalan Pembebasan: Dari Ruang Kuliah ke Jantung Kehidupan
Dalam penyampaian materinya, Prof. Hamja tidak sekadar memberi kuliah. Ia turun dari mimbar, menyatu dengan peserta, membangun dialog, dan memantik kesadaran kritis melalui pendekatan yang hangat dan reflektif. Ia memulai dari hakikat dasar: manusia adalah makhluk berpikir. Dari zaman Plato hingga pemikir kontemporer, manusia selalu mendefinisikan dirinya melalui kemampuan untuk berpikir dan merenung.
Pikiran bukan hanya alat bantu, melainkan sarana menafsirkan keberadaan, memahami realitas, dan menyelami arah hidup.
Dalam perspektifnya, berpikir merupakan kebutuhan universal (universal need), bagian dari fitrah eksistensial manusia. Kehidupan yang terus bergerak dan berubah menuntut pemikiran yang adaptif, reflektif, dan progresif.
Di sinilah filsafat hadir, bukan sebagai ilmu yang “ruwet”, melainkan sebagai cahaya yang menuntun manusia dari gelapnya kebodohan menuju terang kebijaksanaan.
Sayangnya, masyarakat kita masih banyak yang mengalami apa yang disebut “filsafat phobia” takut pada kedalaman berpikir.
Filsafat dianggap tidak praktis, terlalu rumit, bahkan menyesatkan. Padahal justru sebaliknya: filsafat membekali kita dengan kemampuan untuk:
1. Memahami struktur dasar ilmu pengetahuan,
2. Membedah persoalan epistemologis dalam berbagai bidang,
3. Memberikan arah etis dan moral terhadap pemanfaatan ilmu dalam kehidupan.
Dengan kata lain, filsafat membantu manusia menemukan akar dan arah hidup. Ia bukan jalan buntu, melainkan jembatan menuju keutuhan diri dan kebermaknaan sosial.
Membaca: Ritual Kunci dalam Membentuk Bangsa Beradab
Prof. Hamja menutup paparannya dengan menekankan kekuatan membaca. Baginya, membaca bukan sekadar aktivitas mencari informasi, tetapi adalah gerbang masuk menuju transformasi pemikiran dan revolusi kesadaran. Membaca memiliki tiga dimensi utama:
• Informatif, karena menyuplai fakta dan data;
• Formatif, karena membentuk pola pikir dan karakter;
• Reflektif, karena menghubungkan apa yang dibaca dengan pengalaman dan kesadaran diri.
Ia mengajak peserta untuk tidak sekadar membaca buku, tetapi juga membaca fenomena, membaca zaman, bahkan membaca diri sendiri. Dalam pandangan Prof. Hamja, “Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap kejadian adalah pelajaran.”
Ia mengutip pepatah kuno: “Ruangan tanpa buku ibarat tubuh tanpa jiwa.” Sebuah peringatan bahwa kehilangan budaya baca sama saja dengan kehilangan arah hidup.
Buku adalah harta peradaban: menyimpan ide, merekam sejarah, dan menjadi kompas masa depan. Maka, membaca buku bukan hanya kegiatan akademik, tapi laku spiritual untuk menumbuhkan empati, logika, dan kepekaan sosial.
Membaca adalah proses membentuk bangsa. Di dalamnya tersimpan rekaman intelektual para pendahulu yang bisa menjadi pijakan untuk loncatan ke depan. Maka tak heran, Al-Zaytun menjadikan budaya membaca sebagai pilar utama dalam sistem pendidikan berasrama yang bertumpu pada keberlanjutan, karakter, dan kematangan berpikir.
Epilog: Dari Al-Zaytun untuk Peradaban Dunia
Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan bukan hanya rutinitas mingguan, melainkan gerakan ilmiah yang sistemik dan visioner. Dalam setiap sesinya, ia menumbuhkan cara berpikir kritis, membentuk karakter kolektif, dan menghubungkan dunia pendidikan dengan cita besar bangsa.
Melalui dialog filsafat dan penguatan budaya membaca, Mahad Al-Zaytun tengah menyiapkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang dalam kebijaksanaan. Generasi yang tak hanya mampu menguasai teknologi, tetapi juga mengedepankan nilai.
Generasi yang siap menyongsong Masyarakat 6.0 tatanan baru yang memadukan kemajuan sains dengan keluhuran moral.
Dari ruang pelatihan ini, cahaya peradaban dipantik. Dan dari Al-Zaytun, cita bangsa dibentangkan. Karena sesungguhnya, pendidikan bukan semata mengajar, tetapi membangkitkan; bukan sekadar mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang utuh yang berpikir, berakhlak, dan berkontribusi untuk semesta. ***
(Ali Aminulloh)