Wonogiri — Udara pagi di perbukitan Wonogiri terasa begitu sejuk. Embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika langkah kaki menyusuri jalan desa yang berliku di antara pepohonan jati dan mahoni. Dari kejauhan, tampak deretan pohon asam jawa menjulang kokoh — batangnya besar, daunnya rimbun, dan buah-buahnya menggantung ranum, menandai datangnya musim panen.
Bagi warga setempat, pohon asam bukan sekadar tanaman liar yang tumbuh di pekarangan. Ia adalah saksi perjalanan hidup masyarakat desa, menjadi bagian dari tradisi dan sumber penghidupan sejak turun-temurun.
“Dari kecil saya sudah ikut panen asam bersama bapak,” tutur Sutarmi (52), warga Desa Gambiranom, sambil tersenyum mengenang masa kecilnya. “Dulu, hasil panen dijual ke pasar kecamatan. Sekarang banyak juga yang dikirim ke luar kota untuk bahan jamu dan bumbu masakan.”
Buah asam jawa yang masak akan dipetik lalu dijemur beberapa hari di bawah terik matahari. Proses pengeringan ini membuat daging buahnya mengerut, berwarna cokelat tua, dan siap diolah menjadi bahan dasar masakan atau jamu tradisional.
Selain memiliki nilai ekonomi, asam jawa juga menyimpan segudang manfaat kesehatan. Kandungan serat alaminya membantu melancarkan pencernaan, sementara senyawa aktif di dalamnya dipercaya mampu menurunkan demam dan meredakan batuk. Tak sedikit warga Wonogiri yang masih mengandalkan ramuan alami ini untuk menjaga daya tahan tubuh.
“Asam jawa dicampur kunyit dan madu, itu resep keluarga kami sejak dulu,” ujar Mbah Karto (68), peramu jamu tradisional yang setiap pagi berkeliling desa menjajakan jamu gendong. “Selain segar, rasanya juga menenangkan.”
Manfaat asam jawa tidak berhenti sampai di situ. Dalam dunia kecantikan alami, asam jawa sering digunakan sebagai masker wajah karena mengandung antioksidan dan antiseptik yang baik untuk kulit. Banyak perempuan desa yang masih merawat diri dengan bahan alami ini — sebuah warisan kearifan lokal yang tetap lestari di tengah gempuran produk modern.
Keberadaan pohon asam di Wonogiri juga memiliki nilai ekologis. Akar-akar kuatnya membantu menahan erosi di lahan berbukit, sementara tajuknya yang lebat menjadi tempat berteduh bagi burung dan serangga. Tak heran jika pohon asam dianggap “penjaga” alam oleh warga sekitar.
Kini, di tengah modernisasi dan perubahan gaya hidup, asam jawa tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. Ia bukan sekadar buah dengan rasa asam yang khas, tetapi juga simbol hubungan manusia dengan alam — hubungan yang sederhana, namun sarat makna.
Menjelang sore, aroma tanah basah dan suara desir angin kembali menyelimuti desa. Di kejauhan, anak-anak berlarian di bawah rindangnya pohon asam. Wonogiri, dengan alamnya yang hijau dan tradisinya yang kuat, seolah mengingatkan kita bahwa kesejahteraan sejati sering kali tumbuh dari akar kehidupan yang sederhana dari tanah, dari alam, dan dari kearifan yang dijaga dengan hati. ***
Penulis : Dadan
Editor : Beritakita.click