Jakarta, BeritaKita–– Pada penghujung dekade 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Presiden Sukarno memperkenalkan sebuah konsep politik yang kemudian dikenal luas dengan istilah Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.
Konsep tersebut lahir pada masa dunia sedang berada dalam pusaran pertarungan ideologi besar, yakni antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Dalam konteks Indonesia, kondisi politik dalam negeri juga tengah bergejolak. Berbagai kekuatan sosial dan politik kerap saling berseberangan, sehingga menimbulkan potensi perpecahan yang serius.
Sukarno menilai, bangsa ini membutuhkan sebuah jalan tengah. Ia berupaya merangkul tiga kekuatan utama masyarakat Indonesia: nasionalis, kelompok agamis, dan kaum komunis.
Menurut Sukarno, jika ketiga kekuatan tersebut saling meniadakan, maka yang terjadi hanyalah konflik berkepanjangan. Namun jika mereka bersatu, Indonesia dapat membangun kekuatan politik yang solid.
Tujuan dan Latar Belakang
Nasakom bukan sekadar gagasan penyatuan ideologi. Ia merupakan strategi besar untuk menjaga keutuhan bangsa. Sukarno menekankan bahwa politik harus mampu menampung semua golongan, bukan meminggirkan salah satunya.
Melalui Nasakom, Sukarno berharap dapat mengonsolidasikan kekuatan politik nasional. Langkah ini ditempuh demi memastikan bangsa Indonesia tidak tercerai-berai akibat perbedaan ideologi.
Tujuan lain dari Nasakom adalah menjaga stabilitas dalam negeri. Dengan adanya wadah persatuan, pertentangan antarideologi dapat diredam sehingga konflik horizontal tidak meluas.
Selain itu, Nasakom menjadi salah satu pilar utama dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Sistem ini dipandang Sukarno sebagai alternatif bagi demokrasi liberal ala Barat yang dinilainya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Bagi Sukarno, Nasakom juga menjadi landasan revolusi nasional dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme. Ia percaya bahwa persatuan tiga kekuatan besar akan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional.
Konsep tersebut sekaligus membuka ruang diplomasi dengan negara-negara Blok Timur. Namun, Sukarno tetap berusaha menjaga agar identitas nasional Indonesia tidak larut dalam pengaruh asing.
Sukarno pernah menegaskan pandangannya. Ia berkata, “Nasakom adalah cerminan falsafah persatuan. Nasionalis, agamis, dan komunis tidak seharusnya saling bertikai, melainkan bisa bekerja sama membangun Indonesia.”
Pandangan Akademisi
Beragam akademisi memberikan penilaian atas gagasan besar ini. Sejarawan Asvi Warman Adam menilai Nasakom sebagai strategi visioner yang mencoba mengelola perbedaan dengan pendekatan inklusif.
Menurutnya, Nasakom adalah strategi Sukarno untuk “mengelola perbedaan dengan cara merangkul, bukan menyingkirkan.” Ia menambahkan, tanpa langkah semacam ini, gesekan ideologi kala itu bisa segera memicu konflik besar.
Sementara itu, pengamat politik Prof. Bambang Purwanto menyebut Nasakom sebagai bentuk kompromi politik khas Indonesia. “Konsep ini menunjukkan kearifan Sukarno dalam memadukan nilai tradisional bangsa dengan dinamika geopolitik global,” ujarnya.
Namun, tidak semua akademisi menilai Nasakom tanpa catatan kritis. Sejarawan Dr. Anhar Gonggong menyoroti bahwa gagasan tersebut sulit diterapkan. Menurutnya, terdapat perbedaan mendasar antara ideologi agama, nasionalisme, dan komunisme yang sering kali bertolak belakang.
Warisan Sejarah
Pada kenyataannya, konsep Nasakom tidak bertahan lama. Pergolakan politik 1965 mengakhiri perjalanan ide ini bersamaan dengan keruntuhan Demokrasi Terpimpin.
Meski demikian, Nasakom tetap menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Konsep ini menunjukkan upaya Sukarno dalam mencari titik temu di tengah perbedaan besar.
Lebih dari sekadar gagasan politik, Nasakom mencerminkan semangat persatuan yang berakar dari nilai kebangsaan Indonesia. Ia mengajarkan bahwa bangsa ini berdiri di atas keberagaman, bukan keseragaman.
Hingga kini, warisan Nasakom kerap dikaji sebagai pelajaran berharga. Bagaimana Sukarno berupaya meramu perbedaan ideologi menjadi kekuatan bersama masih menjadi bahan refleksi politik bangsa.
Sejarah mencatat bahwa setiap bangsa membutuhkan kemampuan untuk mengelola perbedaan. Dalam konteks Indonesia, Nasakom pernah menjadi simbol ikhtiar tersebut.
Walaupun runtuh dalam badai politik, gagasan Nasakom tetap hidup sebagai pengingat pentingnya mencari keseimbangan di tengah perbedaan.
(Dari berbagai sumber)
Penulis : Imam Setiadi