JAKARTA, BERITAKITA || Setelah tak lagi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno tetap menjalani kesehariannya dengan sederhana. Dalam satu kesempatan, saat berjalan-jalan di sekitar kota, Bung Karno tiba-tiba ingin menikmati buah rambutan yang dijajakan di pinggir jalan. Ia pun memanggil ajudannya, seorang polisi wanita asal Bali bernama Ni Luh Putu Sugianitri, atau akrab disapa Nitri. “Tri, beli rambutan,” pinta Bung Karno singkat. Nitri pun bertanya, “Uangnya mana, Pak?” Dengan senyum khasnya, Bung Karno menjawab dalam bahasa Bali, “Sing ngelah pis,” yang berarti, saya tidak punya uang. Tanpa berpikir panjang, Nitri membelikan rambutan itu dengan uang pribadinya untuk sang proklamator yang kala itu sudah tak berkuasa.
Malam 30 September 1965 menjadi malam yang tak terlupakan bagi Nitri. Di Asrama Pendidikan Polwan Sukabumi, tempat ia menempuh pendidikan selama setahun, seharusnya digelar acara hiburan usai pengukuhan 50 siswi polisi wanita dari berbagai daerah di Indonesia. Nitri, gadis Bali yang dikenal piawai menari, telah bersiap untuk tampil di hadapan para pejabat yang akan hadir. Namun, tanpa penjelasan, acara itu mendadak dibatalkan. “Lampu tiba-tiba padam, dan kami diminta pulang tanpa tahu alasan apa-apa,” kenangnya.
Keesokan harinya, 1 Oktober 1965, Indonesia diguncang kabar mengerikan. Tujuh jenderal diculik dan kemudian ditemukan tewas di Lubang Buaya. Bagi Nitri, pembatalan acara malam sebelumnya terasa ganjil. Namun ia tidak tahu pasti apakah ada kaitannya dengan peristiwa berdarah yang kemudian dikenal sebagai G30S/PKI itu, atau sekadar kebetulan semata.
Beberapa waktu setelah peristiwa tersebut, Nitri menerima tugas baru yang tak kalah istimewa: menjadi ajudan pengantar makanan bagi Presiden Soekarno. Tugas itu dijalaninya dengan penuh tanggung jawab dan rasa hormat. “Bapak saat itu sudah tidak banyak kegiatan kenegaraan. Setiap pagi hanya membaca semua koran yang ada di rumah,” tutur Nitri suatu kali. Ia sering mendapati Bung Karno berbicara sendiri sambil membaca berita politik di surat kabar yang dibawanya.
Dalam kesehariannya, Nitri menjadi saksi kesederhanaan dan kebiasaan sang proklamator. Ia rutin mengantarkan penganan kecil di pagi hari, serta ikut mendampingi Bung Karno ke Istana Bogor setiap minggu untuk menikmati alunan musik keroncong salah satu hiburan kesukaan Bung Karno . Masa pengabdian Nitri mendampingi Bung Karno berlangsung dari tahun 1965 hingga 1967, tepat ketika terjadi pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.
“Selepas pergantian presiden, keesokan harinya Bapak ditempatkan di Wisma Yaso dan tidak boleh ditengok, kecuali oleh keluarga, itupun harus dengan izin pemerintah,” ujar Nitri mengenang masa-masa itu. Ia merasakan kesedihan yang mendalam melihat sosok besar bangsa itu dibatasi ruang geraknya dan perlahan menjauh dari panggung politik.
Kenangan terakhir Nitri bersama Bung Karno terjadi pada hari-hari menjelang akhir masa jabatannya. Saat itu, Bung Karno tiba-tiba mengajaknya berfoto bersama. Nitri sempat heran dan bertanya, “Buat apa foto, Pak?” Bung Karno lalu tersenyum dan menjawab, “Lho, kok buat apa? Aku kan besok sudah tidak pakai pakaian ini.” Yang dimaksud ialah pakaian kebesaran Presiden Republik Indonesia seragam putih yang begitu ikonik.
“Untung waktu itu Bapak mengajak berfoto,” kata Nitri kemudian. “Sebab banyak foto lain bersama beliau yang saya tak sempat simpan.” Foto itulah yang akhirnya menjadi satu-satunya kenangan fisik dirinya bersama Sang Putra Fajar. Ni Luh Putu Sugianitri, polwan sederhana yang setia mendampingi Bung Karno di masa-masa terakhirnya, kini telah berpulang. Namun kisah pengabdiannya tetap abadi sebagai bagian kecil dari sejarah besar bangsa ini. ***
(Sumber: Blog Roso Daras)
Editor : Redaksi