Kota Bekasi, BeritaKita – Pendidikan karakter sejak usia dini menjadi fondasi penting dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini ditegaskan oleh Neneng Kurnia, pendiri PAUD PK Banan sekaligus CEO Kampung Sahabat. Ia menyebut masa golden age atau usia emas anak adalah periode krusial yang akan menentukan karakter seseorang hingga dewasa.
Dalam program AsMEN Talk yang dipandu Muh. Hatta Tahir, di studio AsMEN, Jalan Puncak Cikunir No. 14, Jakasampurna, Bekasi Barat, Kota Bekasi. Neneng berbagi pengalamannya membina anak-anak selama bertahun-tahun. Meski berasal dari latar belakang sederhana anak yatim dan hanya lulusan SD ia mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan kesetaraan dan pemberdayaan masyarakat.
Masa Kecil yang Penuh Perjuangan
Neneng tumbuh tanpa ayah sejak usia tiga tahun dan hidup bersama enam saudara kandung. Setelah lulus SD, ia terpaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Banten, Bandung, dan Jakarta untuk membantu ekonomi keluarga.
“Saya anak yatim yang cuma lulusan SD, jadi pembantu di Banten, Bandung, dan Jakarta,” kenangnya.
Pengalaman itu justru membentuk kepedulian sosialnya. Ia menganalogikan dirinya dengan kisah Bilal bin Rabah, seorang budak yang dibebaskan oleh Abu Bakar. Kini, Neneng bertekad menjadi “Abu Bakar” bagi anak-anak yang membutuhkan.
Saat ini, ia membina sekitar 50 anak di Kampung Kemulung dan mendampingi 180 kepala keluarga melalui program pendidikan dan pemberdayaan.
Pendekatan Unik Mengelola Emosi Anak
Dalam praktik pendidikannya, Neneng menerapkan metode khusus untuk mengelola emosi anak. Salah satunya saat menangani murid yang selalu menangis selama satu jam karena tidak meraih peringkat pertama di kelas.
“Saya beri ruang untuk menangis. Dalam satu bulan, saya lihat perubahan dari menangis satu jam menjadi hanya lima menit,” jelasnya.
Metode ini terbukti efektif. Anak tersebut kini mampu mengontrol emosinya dan bahkan meminta izin sebelum meluapkan perasaan.
Kritik terhadap Solusi Instan
Neneng mengapresiasi kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mengirim anak-anak nakal ke barak militer, namun menilai langkah itu hanya efektif untuk jangka pendek.
“Kalau di rumah tidak dikuatkan, ini akan lepas,” kritiknya.
Ia menegaskan, solusi berkelanjutan terletak pada peran orang tua dan pendidikan karakter sejak dini. Program enam bulan di barak militer dinilai tidak cukup tanpa pembinaan lanjutan di keluarga.
Memahami Tahapan Perkembangan Anak
Menurut Neneng, orang tua perlu memahami setiap tahap perkembangan psikologis anak. Misalnya, anak usia tiga tahun secara alami bersifat egosentris dan belum saatnya dipaksa berbagi.
“Sebelum ke tahap berbagi, harus ke tahap memiliki dulu. Anak usia tiga tahun itu ego, egosentris,” paparnya.
Pemaksaan di usia yang belum tepat justru bisa berdampak negatif hingga dewasa, seperti kurangnya rasa syukur dan sulit menghargai kepemilikan.
Roadmap Kehidupan hingga Kematian
Neneng juga mengajak masyarakat untuk memiliki roadmap kehidupan yang jelas. Bahkan, ia membuat roadmap kematian sebagai motivasi untuk selalu berbuat baik.
“Saya ingin meninggal husnul khatimah hari Jumat, saat berbicara di depan 1.000 orang, dan di situ ada yatim dhuafa,” ungkapnya.
Baginya, konsep ini menjadi pendorong untuk terus memberikan manfaat sepanjang hidup.
Dukungan Pemerintah Masih Terbatas
Terkait pendidikan kesetaraan, Neneng mengakui ada perhatian dari pemerintah DKI Jakarta. Namun, keterbatasan SDM dan kesejahteraan tenaga pendidik masih menjadi hambatan.
“Tidak semua orang benar-benar total mendampingi pendidikan kesetaraan. Kita harus full heart, full time,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan tutor dan relawan agar pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan dapat optimal. ***
Editor : Redaksi