JAKARTA, BERITAKITA || Di tengah meningkatnya volume sampah di berbagai kota besar, pemerintah terus mendorong pemanfaatan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai solusi ganda: mengatasi persoalan sampah sekaligus menghasilkan energi listrik. Namun, tidak sedikit pihak yang masih mempertanyakan, apakah PLTSa benar-benar aman bagi lingkungan?
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bahwa gas buang dari proyek Waste to Energy (WtE) tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menegaskan bahwa teknologi yang digunakan sudah memenuhi standar internasional, baik dari sisi efisiensi pembakaran maupun pengendalian emisi.
“Teknologi insinerator yang digunakan mampu membakar sampah hingga suhu 900 derajat Celcius. Dengan sistem pembakaran tertutup dan penyaringan berlapis, emisi yang dihasilkan sangat minim,” ujar Yuliot dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (7/11/2025).
Menurut Yuliot, pembangunan PLTSa justru memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. “Dengan adanya pengolahan sampah menjadi energi ini, justru sampah menjadi lebih terkelola. Lingkungan menjadi lebih sehat, kota lebih bersih, dan masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari energi yang dihasilkan,” tambahnya.
PLTSa merupakan bentuk nyata dari konsep ekonomi sirkular, di mana sampah yang selama ini menjadi beban justru diubah menjadi sumber daya baru. Proses ini tidak hanya menghasilkan energi listrik, tetapi juga mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Solo mulai mengoperasikan PLTSa dengan kapasitas bervariasi. Data Kementerian ESDM mencatat, setiap 100 ton sampah yang dibakar dapat menghasilkan sekitar 700–800 kilowatt-jam listrik, cukup untuk memasok ratusan rumah tangga.
Namun, pemerintah tidak menutup mata terhadap potensi risiko lingkungan. Pengawasan emisi dilakukan secara ketat melalui sensor otomatis yang memantau kadar gas buang seperti dioksin, furan, dan partikel berbahaya lainnya. Semua hasil pemantauan dikirim langsung ke sistem ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pakar lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Rani Prameswari, menilai langkah pemerintah patut diapresiasi. “Yang penting adalah memastikan bahwa teknologi yang digunakan benar-benar sesuai standar Eropa dan Jepang. Dengan sistem pengendalian emisi modern, risiko pencemaran bisa ditekan seminimal mungkin,” ujarnya.
Dr. Rani juga mengingatkan pentingnya transparansi data agar masyarakat dapat ikut memantau dampak lingkungan secara objektif. “Ketika masyarakat tahu bahwa gas buang aman dan sistemnya terpantau, kepercayaan publik akan tumbuh,” katanya.
Proyek PLTSa bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga perubahan perilaku. Kesadaran masyarakat dalam memilah sampah dari rumah menjadi kunci utama keberhasilan program ini. Pemerintah pun terus mendorong partisipasi publik melalui kampanye edukatif dan insentif bagi warga yang aktif memilah sampah.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Indonesia berpeluang besar menuju kota bebas sampah dan mandiri energi. Seperti kata Yuliot Tanjung, “Sampah bukan lagi masalah, tapi potensi. Dengan inovasi dan komitmen bersama, kita bisa mewujudkan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.” ***
Penulis : Dadan