Lebak — Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Banten memastikan polemik antara Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga dan salah satu siswanya berakhir damai setelah kedua pihak diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Kasus tersebut bermula dari dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kepala Sekolah berinisial DP terhadap siswa berinisial ILP (17), setelah yang bersangkutan kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Peristiwa itu sempat menimbulkan sorotan publik, terutama di kalangan masyarakat dan pemerhati pendidikan yang menilai perlunya ketegasan tanpa mengabaikan aspek kemanusiaan dalam proses pembinaan siswa.
Disdikbud Banten segera melakukan langkah cepat dengan menurunkan tim untuk menelusuri kejadian yang terjadi di lingkungan SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak.
Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa Kepala Sekolah DP dinonaktifkan sementara dari jabatannya untuk memudahkan proses klarifikasi dan menjaga kondusivitas sekolah.
Sementara itu, siswa ILP yang terbukti melakukan pelanggaran tata tertib dengan merokok di area sekolah juga diberikan sanksi pembinaan dan teguran resmi oleh guru Bimbingan Konseling (BK).
Pihak sekolah kemudian memanggil orang tua ILP untuk memberikan penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan anaknya serta proses pembinaan yang akan dijalankan.
Kabid SMA Disdikbud Banten, Adang Abdurrahman, menyampaikan bahwa langkah tersebut diambil untuk memberikan keadilan bagi kedua belah pihak sekaligus memastikan proses pendidikan tetap berjalan dengan baik.
Menurutnya, siswa dan orang tua telah mengakui adanya pelanggaran tata tertib yang dilakukan ILP, namun mereka juga menyatakan tidak membenarkan adanya tindakan kekerasan dari pihak pendidik.
“Anak dan orang tua sudah mengakui kesalahan. Namun, kami menegaskan bahwa tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apa pun di sekolah,” ujar Adang Abdurrahman.
Ia menambahkan bahwa setiap pelanggaran oleh peserta didik seharusnya diselesaikan melalui pendekatan pembinaan dan edukatif, bukan dengan tindakan fisik yang dapat menimbulkan dampak psikologis.
“Sekolah memiliki prosedur penanganan pelanggaran. Ada sistem poin, ada pemanggilan ke ruang BK, dan ada pembinaan karakter. Semua itu harus dijalankan sesuai mekanisme,” jelasnya.
Dengan penonaktifan sementara kepala sekolah, Disdikbud Banten ingin memberikan pesan bahwa lembaga pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan ramah bagi seluruh peserta didik.
Langkah tegas itu juga menjadi bentuk komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan prinsip pendidikan tanpa kekerasan, sesuai dengan kebijakan nasional dan peraturan perlindungan anak.
Adang berharap seluruh kepala sekolah di Banten dapat menjadikan kasus SMAN 1 Cimarga sebagai pembelajaran penting agar tidak terjadi lagi tindakan yang berpotensi mencederai nilai-nilai pendidikan.
“Setiap pendidik harus menjadi teladan dalam membimbing siswa. Tegas boleh, tapi harus tetap humanis dan berlandaskan nilai moral,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu, pihak keluarga ILP menyampaikan apresiasi atas penyelesaian yang dilakukan secara terbuka dan berimbang antara hak serta kewajiban masing-masing pihak.
Mereka mengaku menerima proses pembinaan yang dijalankan terhadap anaknya, sekaligus berharap agar kejadian serupa tidak terulang lagi di lingkungan sekolah.
Setelah keputusan tersebut, aktivitas belajar mengajar di SMAN 1 Cimarga kembali berjalan normal dengan pengawasan ketat dari pengawas sekolah dan Disdikbud setempat.
Dengan berakhirnya polemik ini, diharapkan seluruh unsur pendidikan di wilayah Banten dapat terus menjaga suasana sekolah yang aman, tertib, dan kondusif demi terciptanya generasi muda yang berkarakter kuat.
Penyelesaian kasus ini menjadi bukti nyata bahwa dialog dan pembinaan yang proporsional tetap menjadi kunci utama dalam menegakkan kedisiplinan di dunia pendidikan tanpa mengorbankan nilai kemanusiaan. ***
Editor : Redaksi