Indramayu, BeritaKita — (Mengenal Tradisi di Al Zaytun) Pandemi COVID-19 telah menjadi katalisator perubahan tatanan kehidupan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari pertemuan tatap muka yang beralih ke dunia daring seperti yang ditandai dengan melesatnya popularitas Zoom Meeting dari lingkup terbatas menjadi instrumen esensial dalam pendidikan dan bisnis hingga adaptasi drastis dalam praktik keagamaan.
Khususnya dalam ranah ubudiyah mahdiyah, dampak pembatasan sosial terasa sangat kuat. Saat puncak pandemi, segala bentuk kerumunan dilarang keras, bahkan bisa berujung pada konsekuensi hukum serius, seperti yang terjadi pada beberapa kasus penyelenggaraan resepsi di sejumlah daerah di Indonesia [misalnya, kasus kerumunan di Petamburan pada November 2020 yang berujung pada proses hukum terhadap penyelenggara, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media nasional.
Larangan ini merambah ke ibadah haji dan umrah yang sempat ditutup, salat Jumat, tarawih, salat wajib, hingga salat Idulfitri yang dilarang berjamaah, semua dengan satu alasan: mencegah penyebaran virus demi keselamatan jiwa. Dalam terminologi usul fikih, kondisi ini dikenal sebagai sadd adz-dzarai’, menutup pintu kerusakan.
Namun, di tengah gelombang pembatasan yang melanda dunia, Mahad Al-Zaytun memilih jalur yang berbeda. Pembelajaran tetap berlangsung tatap muka, dan salat berjamaah termasuk salat Id dan Jumat tetap dilaksanakan.
Perbedaannya hanya satu: shaf (barisan salat) direnggangkan. Pola “jaga jarak” atau “physical distancing” yang diadopsi selama darurat pandemi oleh banyak komunitas, di Al-Zaytun telah menjadi budaya permanen dalam konteks ubudiyah mahdiyah dan aktivitas berjamaah lainnya, bahkan setelah status darurat pandemi dicabut. Mengapa demikian? Penjelasan yang mendasari praktik ini memicu diskusi dan perbedaan interpretasi.
Polemik Shaf Salat: Memaknai Berlapang-lapang dan Meluruskan dalam Teks Keagamaan
Ketika praktik shaf renggang di Al-Zaytun dipertanyakan, landasan normatif yang diajukan adalah Surat Al-Mujadilah ayat 11, yang menyerukan untuk tafassayahu fil majalis (berlapang-lapang dalam majelis).
Kalangan yang kontra umumnya menafsirkan ayat ini hanya berlaku untuk forum pengajian atau majelis ilmu, bukan salat berjamaah. Mereka juga merujuk pada hadis Nabi Muhammad ﷺ, “سَوُّوا صُفُوفَكُمْ” (sawwu shufufakum), yang secara umum dimaknai sebagai perintah untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Di sinilah letak inti perbedaan pemahaman: interpretasi terhadap makna “majelis” dan “sawwu”. Jika merujuk pada beberapa tafsir mu’tabar, perspektif yang lebih luas tentang “majelis” mulai terkuak. Muhammad Tahir Ibnu Asyur dalam tafsirnya At-Tahrir wa At-Tanwir (Jilid ke-28, hlm. 38) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tafassayahu fil majelis adalah berlapang-lapang dalam majelis ilmu, majelis kebaikan, termasuk majelis salat berjamaah. Senada dengannya, Muhammad Thanthawi dalam tafsir Al-Wasith menafsirkan “majelis” sebagai majelis kebaikan seperti majelis zikir, jihad, shalat, dan mencari ilmu.
Bahkan, secara lebih spesifik, Al-Qurtubi dalam tafsirnya Jami’ Al Ahkam, menyebut secara eksplisit “majelis shalat Jumat” sebagai salah satu contoh majelis yang diperintahkan untuk berlapang-lapang. Penafsiran para ulama tafsir terkemuka ini memberikan landasan kuat bahwa konsep “berlapang-lapang” tidak terbatas pada majelis ilmu semata, melainkan juga relevan dalam konteks salat berjamaah.
Selanjutnya, mengenai perintah “سَوُّوا” (sawwuu), perlu digali lebih dalam maknanya. Hadis riwayat Bukhari dari Anas bin Malik berbunyi, “سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ” (Sawwuu shufufakum fa inna taswiyata ash-shufuf min iqamati ash-shalat), yang berarti “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf adalah termasuk dari kesempurnaan salat.” Perhatikan bahwa perintah di sini adalah meluruskan (taswiyah), bukan merapatkan atau menempelkan kaki dan bahu secara mutlak.
Meskipun ada riwayat lain yang menyuruh merapatkan, para ulama fiqh juga memahami bahwa tujuan utama adalah kerapihan dan kesatuan shaf, dan taswiyah secara bahasa lebih condong pada pelurusan barisan. Dengan demikian, tradisi di Al-Zaytun untuk meluruskan barisan sekaligus merenggangkannya memiliki dasar argumen yang tidak sembarangan dari dua nash tersebut: perintah untuk berlapang-lapang dalam majelis (termasuk salat) dan perintah untuk meluruskan barisan.
Shaf Renggang: Antara Kenyamanan, Kebersihan, dan Etika Sosial
Praktik meluruskan shaf dan berlapang-lapang atau merenggangkan barisan dalam salat di Al-Zaytun bukan sekadar interpretasi tekstual, melainkan telah menjadi tradisi (thariqah) dalam menjalankan ubudiyah mahdiyah. Pendekatan ini bertujuan agar civitas akademika merasa lebih nyaman dan khusyuk dalam menjalankan ibadah. Secara sosiologis, praktik jaga jarak dalam konteks aktivitas komunitas juga dapat ditinjau dari perspektif proxemics, studi tentang bagaimana manusia menggunakan ruang dalam interaksi sosial.
Mempertahankan jarak personal yang nyaman, meskipun dalam konteks ibadah, dapat meningkatkan rasa aman dan mengurangi potensi ketidaknyamanan, terutama dalam kerumunan besar.
Selain kenyamanan, dimensi kebersihan dan kesehatan juga menjadi relevan. Meskipun pandemi mereda, kesadaran akan pentingnya menjaga jarak fisik untuk meminimalisir penyebaran penyakit menular tetap relevan. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam yang menjunjung tinggi kebersihan (thaharah) dan kesehatan (afiyah) sebagai bagian integral dari iman.
Dengan demikian, saf renggang bukan hanya respons darurat, melainkan sebuah adaptasi budaya yang mengintegrasikan nilai-nilai kesehatan dan etika sosial dalam praktik ritual.
Pada akhirnya, apa yang dibudayakan di Al-Zaytun berlandaskan pada landasan normatif (interpretasi Al-Qur’an dan Hadis), landasan sosiologis (kenyamanan interaksi dalam komunitas), dan landasan kultural (pembentukan kebiasaan). Hasilnya, terbentuklah barisan salat yang nampak sangat rapi dan tertata—sebuah manifestasi visual dari masyarakat yang berbudaya tinggi.
Salat ubudiyah mahdiyah di Al-Zaytun, dengan segala kekhasannya, tidak hanya dimaknai sebagai ritual semata, tetapi sebagai praktik yang mengandung makna mendalam dalam membangun peradaban bangsa yang berbudaya tinggi, di mana ketertiban, kenyamanan, kesehatan, dan pemahaman yang inklusif terhadap teks-teks keagamaan saling berjalin.
Epilog: Mengedepankan Kearifan Menyelami Makna Mendalam.
Di tengah hiruk pikuk interpretasi dan pergeseran norma, Mahad Al-Zaytun menawarkan sebuah cermin: bagaimana sebuah lembaga pendidikan dapat berinovasi dalam tradisi, menafsir ulang teks suci dengan keberanian intelektual, dan mengintegrasikan nilai-nilai universal dalam praktik sehari-hari.
Shaf yang renggang di Al-Zaytun bukan sekadar jarak fisik, melainkan jarak pemikiran yang membuka ruang bagi pemahaman baru, jarak budaya yang merangkul keberagaman, dan jarak spiritual yang menuntun pada kekhusyukan sejati.
Ini adalah tentang keberanian untuk melangkah keluar dari kebiasaan tanpa meninggalkan esensi, tentang bagaimana sebuah komunitas dapat mengukir peradaban dengan setiap langkah yang diambil, dan setiap barisan yang ditata. Semoga kita semua dapat belajar dari kearifan ini, untuk selalu mencari makna yang lebih dalam, dan berani menata kembali kebiasaan demi kemajuan yang hakiki. ***
(Ali Aminulloh)