Jakarta, BeritaKita — Kualitas udara di Ibu Kota Jakarta pada Selasa pagi ini kembali tercatat dalam kategori tidak sehat. Berdasarkan data dari laman pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 05.00 WIB, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta mencapai angka 162, yang berarti berada dalam level “tidak sehat” bagi kelompok sensitif maupun masyarakat umum.
Nilai tersebut disertai dengan tingkat konsentrasi partikel PM 2,5 sebesar 70,5 mikrogram per meter kubik, atau 14,1 kali lebih tinggi dibandingkan nilai ambang batas tahunan yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Partikel PM 2,5 merupakan polutan halus berukuran kurang dari 2,5 mikrometer yang bisa berasal dari debu, asap kendaraan, dan sisa pembakaran industri. Karena ukurannya sangat kecil, partikel ini dapat masuk hingga ke sistem pernapasan bawah dan berpotensi memicu gangguan kesehatan serius.
Paparan jangka panjang terhadap PM 2,5 diketahui dapat meningkatkan risiko kematian dini, terutama bagi mereka yang menderita penyakit jantung, paru-paru, dan gangguan pernapasan kronis. Oleh karena itu, masyarakat diimbau lebih waspada dan membatasi aktivitas di luar ruangan.
Menurut rekomendasi IQAir, warga disarankan untuk mengenakan masker pelindung ketika beraktivitas di luar rumah. Selain itu, masyarakat diimbau menutup rapat jendela rumah, menyalakan penyaring udara (air purifier) di dalam ruangan, serta menghindari aktivitas fisik berat di luar ruangan.
Berdasarkan data terkini, Jakarta menempati posisi ketiga kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia pada hari ini. Di atasnya terdapat Serpong dengan indeks kualitas udara sebesar 186, serta Tangerang Selatan dengan nilai 185.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menilai bahwa penurunan kualitas udara ini tidak hanya disebabkan oleh aktivitas di wilayah Jakarta saja. Faktor cuaca dan kontribusi dari wilayah sekitarnya juga menjadi penyebab utama memburuknya udara di Ibu Kota.
“Penurunan kualitas udara di Jakarta juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi dan kontribusi dari daerah-daerah aglomerasi seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur,” jelas keterangan resmi Pemprov DKI Jakarta.
Hasil inventarisasi emisi yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menunjukkan bahwa sektor transportasi dan industri menjadi dua penyumbang utama polusi udara di wilayah ini.
Sektor transportasi disebut memberikan kontribusi terbesar, yakni sekitar 75 persen dari total pencemaran udara di Jakarta. Kontribusi signifikan berasal dari kendaraan berat, termasuk truk logistik dan bus bermesin diesel yang beroperasi di kawasan perkotaan.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemprov DKI Jakarta kini tengah memperkuat langkah pengendalian emisi dari dua sektor utama itu. Salah satunya dengan memperluas penggunaan transportasi umum massal serta mewajibkan uji emisi kendaraan bermotor.
Selain sosialisasi, pemerintah juga menyiapkan langkah tegas melalui penegakan hukum terhadap kendaraan yang tidak lulus uji emisi. Langkah ini terutama ditujukan untuk kendaraan berat yang menjadi salah satu sumber polusi terbesar.
Pemprov DKI juga menggandeng pengelola kawasan industri dan bisnis agar ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji emisi kendaraan di kawasan masing-masing. Kebijakan tersebut berlaku bagi seluruh perusahaan, stan usaha, serta kendaraan operasional yang beraktivitas di lingkungan kawasan industri.
“Semua kendaraan operasional termasuk logistik dan pengangkut limbah wajib mengikuti uji emisi secara berkala,” tegas pihak Pemprov dalam keterangan lanjutan.
Selain itu, pengawasan terhadap sektor industri dilakukan secara ketat melalui sistem pengukuran emisi menerus (continuous emission monitoring system/CEMS). Sistem ini berfungsi untuk memastikan setiap industri tidak melampaui batas ambang emisi yang telah ditetapkan.
Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu menekan laju pencemaran udara sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat dan dunia usaha terhadap pentingnya menjaga kualitas udara.
Pemprov DKI juga terus mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengendalian polusi, termasuk dengan beralih menggunakan transportasi umum, menanam pohon, dan mengurangi pembakaran sampah terbuka.
“Perubahan gaya hidup menjadi kunci penting dalam memperbaiki kualitas udara Jakarta,” ujar seorang pejabat DLH DKI. “Setiap warga memiliki peran dalam menciptakan udara yang lebih bersih dan sehat.”
Dengan langkah-langkah kolaboratif antara pemerintah, industri, dan masyarakat, diharapkan udara Jakarta dapat berangsur membaik, sehingga aktivitas warga dapat kembali berlangsung dengan lebih nyaman dan sehat. ***
Editor : Redaksi