Jakarta, BeritaKita — Anggota Dewan Pers Abdul Manan menilai bahwa uji materi terhadap Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat memberikan kejelasan yang lebih konkret mengenai bentuk perlindungan hukum bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
Pasal tersebut berbunyi: “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.” Namun, menurut Abdul Manan, rumusan itu masih terlalu umum dan membuka ruang multitafsir.
“Pasal 8 UU Pers, menurut saya memang sangat multitafsir karena hanya mengatakan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya mendapatkan perlindungan hukum, tetapi perlindungan hukum seperti apa yang bisa dilakukan? Nah itu kan terlalu abstrak,” ujar Abdul dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring dari Jakarta, Sabtu (6/9) malam.
Ia menjelaskan bahwa karena tafsir pasal tersebut tidak spesifik, banyak pihak kesulitan memahami implementasinya secara langsung. Abdul mencontohkan bahwa aparat kepolisian seharusnya dapat memberikan perlindungan hukum ketika wartawan mengalami hambatan dalam peliputan, termasuk saat alat liputannya dirampas.
Menurutnya, perlindungan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab negara terhadap profesi wartawan. Namun, ia menyayangkan bahwa dalam praktiknya, justru ada oknum aparat yang melakukan kekerasan terhadap wartawan.
“Namun, yang lebih ironis malah kadang-kadang polisi yang melakukan kekerasan. Jadi, bukannya melindungi, tetapi malah menjadi pelaku,” tegasnya.
Abdul berharap agar Mahkamah Konstitusi berani memberikan tafsir yang lebih rinci terhadap Pasal 8 melalui uji materi yang diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum). Ia menilai bahwa tafsir yang lebih jelas akan membantu seluruh elemen negara—baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—memahami kewajiban mereka dalam melindungi wartawan.
“Tafsir lebih detail dari yang di Pasal 8 itu saya kira akan memperjelas bagi aparat penegak hukum, atau bagi negara baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif tentang apa yang harusnya dia lakukan untuk melindungi wartawan,” ucapnya.
Permohonan uji materi tersebut telah diajukan oleh Iwakum kepada Mahkamah Konstitusi pada 19 Agustus 2025. Dalam petitumnya, Iwakum meminta agar MK menafsirkan Pasal 8 menjadi lebih operasional, antara lain dengan menyatakan bahwa tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan yang bekerja sesuai kode etik pers. Selain itu, mereka mengusulkan agar pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers.
Langkah ini dinilai sebagai upaya penting untuk memperkuat posisi wartawan dalam sistem hukum nasional dan memastikan kebebasan pers tetap terjaga di tengah dinamika sosial-politik yang terus berkembang. ***
Editor : Rizki
Sumber Berita: Rilis