Jakarta, Berita Kita — Urgensi keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mendukung tugas-tugas Kejaksaan kini menjadi sorotan setelah munculnya kebijakan yang memungkinkan TNI memberikan pengamanan dalam proses penegakan hukum.
Meskipun bagi sebagian pihak langkah ini menimbulkan pertanyaan, sejumlah tokoh melihatnya sebagai bagian dari visi jangka panjang Presiden Prabowo Subianto.
Seorang narasumber yang pernah duduk di Komisi Kejaksaan menyampaikan bahwa selama setahun terakhir tidak tampak adanya konflik atau ketegangan antara aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan dan Kepolisian.
“Kalau saya di Komisi Kejaksaan satu tahun terakhir ini kita lihat fan-fan saja, baik-baik saja ya,” ungkapnya.
Ia juga menilai bahwa hubungan Jaksa Agung dan Kapolri sejauh ini berlangsung harmonis dan tidak menunjukkan tanda-tanda persaingan.
“Kalau orang menduga ada kompetisi atau tidak akur, yang kita lihat justru Pak Jaksa Agung dan Pak Kapolri bertemu cipika-cipiki, bahkan salam komando juga kita lihat di beberapa media,” tambahnya.
Menurut pandangannya, latar belakang keluarnya kebijakan yang melibatkan TNI lebih bersifat strategis dan visioner. Ia menilai Presiden Prabowo memiliki kepekaan dan pandangan jauh ke depan, mirip dengan tokoh-tokoh seperti Habiburokhman, yang dikenal sebagai pribadi visioner.
“Saya melihat Pak Prabowo itu seperti punya indra keenam. Beliau punya visi yang panjang,” ujarnya.
Visi tersebut, katanya, sudah terlihat sejak Prabowo melontarkan gagasan denda damai yang sempat memicu perdebatan publik, khususnya terkait koruptor. Namun, gagasan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah terobosan nyata melalui pembentukan Satgas Sawit.
“Satgas Sawit itu unsur paling depannya adalah jaksa. Dalam penanganannya, sebenarnya konsep denda damai juga diterapkan,” jelasnya.
Satgas tersebut mengungkap fakta mengejutkan, bahwa banyak perusahaan sawit besar yang beroperasi di Indonesia ternyata berkantor pusat di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia. Tak sedikit dari perusahaan-perusahaan ini diduga melanggar perizinan secara masif.
“Misalnya mereka menguasai izin 100.000 hektare, tapi yang dikelola sampai 500.000 hektare. Itu artinya 400.000 hektare ilegal,” tegasnya.
Jika penegakan hukum dilakukan secara konvensional, bisnis bisa berhenti total. Oleh karena itu, menurutnya, keterlibatan TNI menjadi relevan demi memastikan pengamanan dalam proses penertiban.
“Untuk mengambil alih 400.000 hektare itu tidak mudah. Jaksa tidak bisa melakukan pengamanan sendiri. Maka, salah satu dasar visinya Pak Prabowo adalah menghadirkan pengamanan ekstra agar lahan-lahan ilegal itu bisa kembali ke negara,” pungkasnya.
Dengan demikian, kerja sama antara Kejaksaan dan TNI bukan sekadar langkah taktis, melainkan bagian dari strategi besar pemerintah dalam menegakkan kedaulatan atas sumber daya alam nasional, terutama di sektor perkebunan sawit yang selama ini sarat pelanggaran. ***
Penulis : Rizki
Sumber Berita: https://youtube.com/shorts/AJooZYqIXuM?si=ohteReGgO_i4HOTh